GANGGUAN BERBAHASA


BAB III
PEMBAHASAN
GANGGUAN BERBAHASA
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat di bagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
1. Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; kedua, gangguan berbicara psikogenik.
a. Gangguan mekanisme jiwa
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan atau perkataan oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanisme ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual) , dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
1. Gangguan akibat faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
2. Gangguan akibat faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai dengan suara yang serak atau hilang tanpa kelainan semantik, dan sintaksis. Artinya dapat dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapanya dapat diterima.
3. Gangguan akibat faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan, maka untuk mencegah rasa pedih ini maka dalam berbicara gerak lidah dikurangi sesuai dengan kehendak penutur.
4. Gangguan akibat faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor Resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Misalnya pada orang sumbing menjadi bersengau atau bindeng.
b. Gangguan akibat Multifaktoral
Akibat gangguan multifaktoral atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara, antara lain sebagai berikut.
1) Berbicara serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami.
2) Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit Parkinson atau kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah. Hal ini akan mempengaruhi proses artikulasi karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara sebagian besar lenyap.
3) Berbicara Mutis
Penderita gangguan Mutis ini tidak dapat berbicara sama sekali, bahkan sebagian dari mereka dianggap bisu. Mutisme ini bukan hanya tidak dapat berbicara atau berkomunikasi secara verbal tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik dan sebagainya.
c. Gangguan PsikogenikGangguan
 berbicara Psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara karena mungkin lebih tepat jika disebut dengan variasi cara berbicara yang normal tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan dibidang mental.
1) Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan anak melakukannya karena ingin dimanja dapat kepada orangtuanya atau pun kepada sanak famili yang dekat dengan si anak.
2) Berbicara Kemayu
Berbicara kemayu ini berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Yaitu dengan melakukan gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol dan gemah gemulai.
3) Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan.
4) Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla yaitu perbuatan membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri dari curah verbal repetitif yang bersifat jorok koprolalla dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.
2. Gangguan Berbahasa
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Oleh sebab itu daerah broca dan wernecke harus berfungsi dengan baik, karena kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut dengan afasia.
a. Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan daerah broca atau pada lapisan di bawah permukaan daerah broca atau juga di daerah otak antara daerah broca dan daerah wernicke.
1) Afasia Motorik Kortikal
Afasia Motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi visual masih bisa dilaukan.
2) Afasia Motorik Subkortikal
Penderita Afasia Motorik subkortikal adalah orang yang tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan secara membeo. Selain itu pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu dan ekspresi visual pun berjalan normal.
3) Afasia Motorik Transkortikal
Para penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya, untuk mengatakan `pensil` sebagai jawaban atas pertanyaan `Barang yang saya pegang ini apa namanya? ` dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan parkataan `itu, tu, tu, untuk menulis. ` afasia jenis ini juga sering disebut dengan afasia nominatif.
b. Afasia Sensorik
Penyebab afasia sensorik ini adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah wernicne pada hemisferium yang dominan. Kerusakan di daerah ini tidak hanya menyebabkan pengertian dari apa yang didengarnya terganggu, tetapi pengertian dari apa saja yang dilihatnya pun ikut terganggu. Namun, ia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri meupun orang lain. Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru yang tidak dapat dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama,nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dapat dipahami.
3. Gangguan Berpikir
Ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa hal-hal berikut.
a. Pikun (Demensia)
Kepikunan atau dimensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingatan jangka pendek, kekaliruan mengenali tempat, orang dan waktu. Juga gangguan kelancaran berbicara. Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak.
b. Sisofrenik
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berfikir. Dulu para penderita sisofrenik juga disebut dengan schizophrenik word salad. Para penderita ini dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar dengan volume yang cukup ataupun lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis. Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus-menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit. Gaya bahasa sisofren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria, yang utama adalah diferensia dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pascahalusinasi.
c. Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksi penderitaanya pada gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan nafas keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.
1.  Gangguan lingkungan sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Keterasingan ini dapat disebabkan oleh perlauan dengan sengaja maupun yang tidak sengaja. Seorang anak terasing menjadi tidak dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya atau dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran manusia. Jadi, anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tidak dapat berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak aterasing yang tidak punya kontak dengan manusia bukan lagi manusia sebab pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapt berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial. Kanak-kanak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya selama masa kanak-kanak selepas umur tujuh tahun anak itu tidak dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi.

Penulis : Light ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel GANGGUAN BERBAHASA ini dipublish oleh Light pada hari Senin, 23 April 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan GANGGUAN BERBAHASA
 

0 komentar:

Posting Komentar