Pengarang :
Pramoedya Ananta Toer
Tebal : 646
halaman
Rumah
Kaca
Tetrapologi pulau buruh ditulis sewaktu pramoedya ananta toer masih mendekam dalam kamp kerja paksa tanpa proses hukum pengadilan di pulau buru. Konon sebelum dituliskan, roman ini dicerita ulangkan oleh penulisnya kepada teman-temannya di pulau tesebut. Hal ini mengisyaratkan dua hal, kesatu bahwa penulisnya memang menguasai betul-betul cerita yang dimaksud. Kedua, agar cerita tersebut tidak menghilang dari ingatan yang tergerus oleh datang perginya peristiwa dan seiring usia yang kian meringsek kedepan.
1912:
tahun terberat untuk pribadi Gubernur Jendral Indenburg. Sebenarnya Van Heutsz,
pendahulunya , sudah merintiskan jalan untuknya. Perlawanan bersenjata di
seluruh Hindia sudah dia patahkan. Datanglah sang pengganti laksana pangeran
dari kahyangan, lepas santai berlenggang-kangkung. Hatinya besar, kepalanya
gede berisi sejuta rencana kemanusiaan. Tak tahunya, tak lebih dari 3 tahun
kemudian waktu ia semestinya berhasil memperlihatkan wajah malaikat Nederland, eropa, jaman
mendadak berkisar mengambil arahnya sendiri. Jaman Van Heutsz itu, jaman
militer dengan sorak-sorai kemenangan dan ratap tangis kekalahan, seperti
maling dengan diam-diam lari ke kuburannya sendiri.
Pada
tahun 1911, setahun yang lalu, mulai terasa di Hindia anak-gelombang badai yang
mengamuk di utara sana.
Seorang anak orang kebanyakan, kebetulan seorang dokter, naik panggung menjadi
presiden dan pemimpin negeri langit tiongkok: Sun Yat Sen. Dinasti ching
Tiongkok sana
tumbang. mata sedunia tertuju pada peresiden pertama di tiongkok ini, semua
menunggu-nunggu tindakan apa yang di ambil. Gebrakannya yang pertama-tama sudah
langsung punya gema internasional. Dia lakukan sesuatu yang orang anggap tidak
mungkin: menertipkan gerombolan teror internasional yang bernama thong.
Gerombolan yang beroprasi hampir di semua kota
pelabuhan di atas muka bumi ini, sampai juga hindia terutama di Surabaya. Dalam menghinpun
dana, thong makin gairah menyelundupkan candu bima. Para
pecandu dijatah, dengan kualitas konon lebih rendah lagi, dan tidak boleh
dikredit seperti di huangkeng. Di jawa ditemukan pula penyelundupan gaya baru: menempuh semua
sungai, besar dan kecil, menuju kepinggiran Vorstenlanden.
Di
betawi dengan semangat nasionalisme, orang-orang tiongkok peranakan,
orang-orang terpelajar mudah, menerbitkan Koran Sin po. Idenburg lantas mendirikan H.C.S., sekolah hollandsch
Chineesche School, sekolah dasar berbahasa belanda untuk anak-anak tionghua,
setingkat dengan sekolah dasar belanda E.L.S. alias Europeesche Lagere School.
Seorang terpelajar pribumi, bukan saja dipengaruhi, malah jadi pengagum
revulusi tiongkok, seorang raden mas, siswa STOVIA, sekolah dokter jawa.dia
gandrung menggunakan senjatah ampuh golongan lemah terhadap golongan kuat yang
bernama boycoot. Ia bercita-cita
membangun nasionalisme Hindia dengan cara-cara yang oleh bangsa-bangsa Hindia
dapat dimengerti. Semua itu dapat di pelajari dari tajuk-tajuknya dalam medan, surat
kabar yang dipimpinnya sendiri, sekalipun jarang sekali dia secara langsung
menyebut-nyebut tionghoa dan tiongkok. Tugas seberat itu dipercayakan dan
dipikulkan kepadaku: Jackues pengemanan. Menghadapi tiongkok ini ada penjabat
khusus yang mengurusi. Aku menghadapi yang pribumi. Pekerjaanku adalah khusus,
tidak umum. Mula-mula akan kucatat segi pengajaran, karena dia itulah yang
menyebabkan mata melihat, mendengar menilai kejadian-kejadian jauh, diluar
negerinya sendiri, berkaca dan menimbang-nimbang diri, kemudian mengetahui
sampai berapa jauh jalan yang ditempuh, dan di tempat mana diri berada.
Disetiap kabupaten Gubermen hanya mendirikan satu sekolah dasar umum dengan dua
bagian. Angka satu dengan angka dua . angka satu mendapat sedikit pelajaran
bahasa belanda. Angka dua sama sekali tidak. Di desa-desa memang ada sekolah desa 3 tahun, hanya mengajarkan
baca-tulis bahasa setempat dan sedikit berhitung.sebagai anak lulusan E.L.S.
sudah kutahu sejak masih sekolah dasar itu betapa jauh jarak peradapan antara
kami dengan murid-murid sd angka satu dan dua, apalagi dangan sekolah desa,
rasa-rasanya takkan tersebrangi.
Pribumi
yang lulus E.L.S. bila tidak dapat jabatan negeri, bisa menjadi sumber
kericuhan bagi gubermen. H.C.S. didirikan untuk membela masyarakat
tionghoa.kaum terpelajar pribumi bukan mengerutu seperti halnya dengan generasi
sebelumnya. Mereka menggunakan kejengkelannya dikoran dan majalah-majalah,
dengan bahasa-bahasa yang dapat mereka pergunakan. Koran dan majalah-majalah
telah melahirkan semangat demokratis tanpa mau gubermen. Wajah hindia memang
mulai berubah dengan makin banyaknya percetakan dan pribumi yang bisa baca
tulis. Dan dalam hal ini, nama yang satu itu punya saham tidak kecil, malahan
saham prioritas. Ya dia! Memang itu orangnya: minke. Lulusan E.L.S. tidak berjabat
negeri? Dia! Pribumi yang jadi mata dan mulut bangsanya? Dia juga! Tidak aneh
jika kasus khusus yang dipikulkan pada pundakku justru untuk menangani dia.
Seperti gurunya di utara sana,
sun yat sen, diapun sekolah dokter tapi tidak lulus. Sebenarnya kuharapkan
orang lain yang akan melakukannya. Tapi atasanku, komisaris besar Donald
Nicolson, berkata inggris, berkata, “tugas ini berdasarkan kertas tuan sendiri,
tuan penggemanan. Itu terjadi dikantor besar kepolisian betawi pada tahun 1911.
dia seorang terpelajar pribumi yang hanya selalu mencintai bangsa dan tanah
airnya hindia, mencoba memajukan bangsanya, dan berusaha keadilan ditegakkan
didalam masa-masa hidupnya, untuk bangsanya diatas bumi hindia, untuk segala
bangsa diatas bumi manusia ini. Dia termasuk golongan manusia yang pada
dasarnya baik, tidak jahat.jelas bukan kriminal. Dia selalu berpakaian jawa:
destar, baju tutup putih dengan rantai emas arloji tergantung pada saku atas
bajunya, berkain batik dengan wiron agak lebar dan berselop kulit. Kulit agak
langsat, kumis terpelihara baik, hitam lebat dan terpilin meruncing keatas pada
ujung-ujungnya. Langkahnya tegap, diwibawahi perawakan yang kukuh.tingginya
agak mendekati 1.65 meter. Beribu-ribu pengikutnya, terdiri dari muslim putih
dan terutama abangan dari golongan mardika. Orang memaafkan, melupakan, menutup
mata terhadap kekurangannya. Ia lebih mudah bergaul dengan orang eropa dari
pada dengan pengikutnya sendiri. Aku hormati dia diam-diam.
Jangan
dikira dengan senang hati kulakukan tugasku. Pertama: kegiatan tidak melanggar
hukum. Tetapi setiap gerakan di hindia yang menjururus kearah pemusatan
kekuatan, selaku merupakan bahaya bagi gubermen. Kedua: kegiatan raden mas ini
adalah wajar bagi pribumi di negeri jajahan manapun, apalagi yang telah
berkanalan dengan ilmu pengetahuan eropa. Pemusatan kekuatan ini merupakan
pedang democles. Tidak dihadapi secara hukum,
tulisku. Dan pada suatu hari aku dihadapkan pada seorang peranakan eropa
disebuah restoran tionghua. “suurhof” peranakan itu memperkenalkan dirinya
dengan suara agak angkuh. “tuan tentu akan bisa kerja sama dengan tuan
suurhof,” kata komandanku, kemudian meninggalkan restoran. Siapa pula dari
kepolisian betawi yang tidak kenal suurhof? Seorang bayaran yang kerjanya
menakut-nakuti penjabat kecil setempat dan penduduk tak berdaya, penjual seribu
macam kesakitanpalsu agar tunduk pada keinginan bangsa eropa. “ apa yang harus
kudengar dari tuan? “ Tanya suurhof, nadanya masih terdengar angkuh. “ baik.
Karena sudah menjadi kehendak tuan komesaris besar, bukan kehendakku, tunggu
aku besok distasiun buitenzorg pada pukul lima
sore. Bawah anak buahmu sedikit mungkin. Keesokan hari, disetasiun buitenzorg
nampak ia sudah menunggu. Aku berjalan meninggalkan peron, pura-pura tidak
mengetahui kehadirannya. Dan dia membuntutiku dari jarak lima meter. Ia segera menyusul, mengangguk
dan mengucapkan selamat sore. Aku tidak membutuhkan komentar: aku akan
berkunjung kerumah seseorang . kalau aku sudah keluar, kalian ganti datang
berkunjung. “ yang kau lakukan hanya menakut-nakuti”.Awas hanya menakut-nakuti
, hanya sampai dia benar-benar takut. Kemudian aku berikan alamatnya. Kutarik
sebatang rokok, korek kunyalakan, dan: “darr” bunyi tembakan, jelas dari sebuah
revolver.
Dari
kejauhan aku lihat suurhof dan teman-temannya meninggalkan rumah. Ia menuju
gerbang kebun raya. Telah dilewati aku
tanpa diketahuinnya. Kemudian pengawal istana berjalan bergegas tidak dalam
barisan. Aku temukan suurhof berdiri bersandar pada tiang pintu gerbang kebun
raya. Aku susul dia sambil berbisik “ kau sudah lewati tugasmu. Kau tembak
dia.” Ia menyusul menjawab dengan bisikan “tidak , tuan. Sungguh mati aku tidak
menembaknya.” Aku berhenti berjalan . kutatap mukanya , bertanya tak percaya:”
dia yang menembak? Dia? Minke?” “bukan, tuan. Istrinya!” pendekar, empat jagoan
tunggang-langgang…huuh! Hanya karena satu perempuan! Memalukan. Dia tidak
protes.
Beberapa
minggu kemudian tanpa gerombolan suurhof aku berkunjung kerumahnya, rumah
minke. Inilah orangnya minke, dari dekat. dia kelihatan gelisah. Memang ada
alasan gelisah setelah kunjungan suurhof dan gerombolannya. Orang dikota-kota
jawa barat telah mendengar belaka, dalam gerombolan de knijpers alias T.A.I. terdapat juga seorang manado. Dia tahu, aku menado setidak-tidaknya
dari namaku. Dia curiga. Yang hendak kubicarakan dengannya telah kupersiapkan.
Pokok pertama: hikayat siti aini
karangan haji moeloek, yang dalam waktu pendek telah jadi buah bibir di jawa. Aku
mulai bicara tentang hikayat itu. Ia
tetap waspada dalam kecurigaannya. Aku harus ganti pokok pembicaraan secepat
mungkin dan menawarkan padanya sebuah naskah nak-sanakku berjudul si pitung. Ia tanggapi tawaran itu
dengan karamahan yang di buat-buat. Rupanya aku kurang pandai bersandiwara,
bermuka dua. Dia lebih konsekwen. Bermuka tunggal sebagai manusia. Aku bicara
tentang de knijpers. Setelah
keceplosan aku keceplosan lagi dengan cerita T.A.I. kemudian tentang de zweep. Dia hanya berkomentar pendek “
sangat menarik.” Percakapan seperti ini tidak bisa diteruskan . hanya akan membuat
aku kebinggungan dan membungkuk-bungkuk
aku minta diri. Di hotel “ enkkuizen” aku renungkan kembali hasil pekerjaanku.
Kesimpulannya sangat sederhana: seperti
suurhof aku juga lari tungang langang. Dihotel ini juga kubulatkan tekad: harus
kubantu orang yang berhati dan berkemauan baik untuk pribumi bangsanya itu.
Lihat sebelum aku ikut diseret menangulangi S.D.I., de knijpers sudah lebih dulu bergerak. Kegiatan mereka memang
banyak , cepat menarik perhatian dan hebat. Baru kemudian masyarakat colonial
tersadar: sepak terjang de knijpers justru
membuat anggota S.D.I. semakin kukuh dan melawan. Gubermen terpaksa
menghentikan kegiatan suurhof dan gerombolannya dengan menegur Algemeene
Landbouw Syndicaat. Gerombolan itu sendiri dengan kekecewaannya meniadakan diri
dengan mengubah namanya menjadi T.A.I. gubermen masih kurang puas dan
membubarkannya. Sebagai hiburan kepada suurhof dijanjikan perlindungan dan
hanya boleh punya pengikut dibawah sepuluh orang. Sisa gerombolan berganti nama
menjadi de zweep, diserahkan kepadaku
untuk jadi tenaga bantuan tanpa mauku. Sampai dirumah aku dapatkan beberapa
puncuk surat masih tertutup dari anak-anakku di Nederland. “ tentu maju
sekolah mereka, Jacques?” istriku mendahului bertanya. “ beres sayang. Mana
mungkin anakmu tidak maju kuliahnya? Kau sendiri yang didik mereka, kan?” kataku membelai
hatinya agar ia tidak meraba perasaanku. “ bacalah sendiri”. Di markas
kulaporkan pada Donald nicolson, bahwa semua persoalan tentang suurhof tidak
akan bikin malu pihak kepolisian. Benar suurhof dijatuhi hukuman, begitu juga
anak buahnya, tetapi semua berjalan dengan aman tanpa meninggalkan
bercak-bercak yang memalukan.
Nah
tuan pengemanan, untuk kesekian kalinya tuan dapat buktikan sendiri, bembikin
kertas lebih mudah dari pada melaksanakannya. Barangkali tuan menunggu-nunggu
aku menyatakan tak sanggup? Aku yang berwenang menilai, bukan tuan, kata
komisaris besar. Katanya sambil menuding pada grafik. Aku hampiri lembar peraga
celaka pada dinding itu, garis baru dengan pensil, yang nampak ragu-ragu
ditarik menujukan, bahwa setiap peristiwa penganiayaan oleh suurhof atas minke,
terjadi kenaikan jumlah anggota S.D.I. secara menyolok. Aku turunkan lembar
peraga itu keatas meja, kuambil trekpen dan mengisinya dengan tinta cina,
mengambil penggaris siku dan mika dan siap hendak menindi garis pensil itu
dengan tinta. Kertas tuan bukanlah kertas untuk umum.hanya beberapa orang saja
di hindia dan di dunia ini membaca dan mempelajarinya. Karya ilmiah tuan
sebagai mana tuan suka sekali menyebutnya tidak mendapat penghormatan di simpan
dalam s’Landscharchief.
Masuknya
Robert suurhof kedalam penjara rupanya sama sekali tidak mengurangi kesulitanku
Donald nicolson semakin gencar memburu-buru aku dengan fakta barunya: S.D.I.
terus bertambah-tambah juga anggotanya. Ia sengaja menjerumuskan aku kearah
pengambilan tindakan yang lebih keras terhadap pimpinan redaksi medan itu.kalau sampai
terjadi suurhof terjaring oleh alat-alat hukum sendiri dan ia berkicau di depan
pangadilan aku yang memerintahkan, akulah yang bakal menjadi seperti gundhu
bergulir kecomberan. Untuk kepentingan itu aku temui kembali tuan L. aku perlu
mendengarkan kuliah-kuliahnya tantang bangsa hindia.” Unsur modern bulum lagi
mengubah tata pikir pribumi” ia menerangkan. “dunia pikirannya masih tetap
seperti lima
abad yang lalu. Cara menanggapi dunia belum berubah. Pribumi yang sudah
diresapi unsur modern memang tidak boleh disamakan dengan selebihnya dia adalah
setengah eropa berbadan pribumi.” Sampai
disitu aku telah dapat menangkap inti dari kuliahnya: menghadapi minke,
pimpinan redaksi medan,
harus dirancang kecelakaan. Begitu raden mas kita tiada, organisasinya pasti
buyar, karena organisasi menurut pengertian eropa, belum lagi di hindia. Aku
tidak menyelamatkan diri dan namaku terhadap kesimpulan intelektualku sendiri.
Tapi aku masih mengingini keselamatan keanggotaanku, bahkan jaminan pension
beberapa tahun mendatang, mungkin sepuluh, mungkin tujuh tahun lagi. Menjelang
fajar rencanaku telah masak. Demi karierku, minke, pimpinan redaksi medan harus disingkirkan.
Dan demi nama baikku pula suurhof juga harus dipunahkan. Suurhof bebas, ia akan
melapor kepadaku di kwitang di rumah rientje de roo, ia pelacur muda, cantik yang
banyak menggegerkan pemuda betawi dengan tarif tertinggi. Rumah itu di sebuah
pavilyun, di daerah kwitang yang tenang. Rientje de roo mempersilahkan masuk.
“tuan pengemanan,” tegurnya manis dan mempersembahkan kemolekannya untuk
dicicipi. Pada waktu itu pintu depan diketuk orang. Kubuka pintu: suurhof
berdiri di hadapanku, tanpa kumis, tanpa jenggot, kemeja sutra putih dan
bercelana kelabu bergaris-garis hitam. “Maafkan aku agak terlambat, tuan
pengemanan.” ucap suurhof. Dengan membubungkan sebuah fragmen La
Traviata membumbung pula tawa bahak
hatiku : kami bertiga sungguh pemain sandiwara terburuk di dunia. Kita bertemu
bukan untuk mengagumi phonograp baru itu”kataku menegur.” Ia mematikan
phonograp dan dengan langkah indah
meninggalkan ruangan dari pintu depan. Aku tinggalkan uang sesuai dengan
tarifnya dan pergi tanpa minta diri. Baru beberapa langkah menuruni jalan raya
suurhof sudah berada dibelakangku. Kau masih sanggup menjalankan perintah?
“ucapku”. Setiap waktu, tuan.”jawab suurhof”. Aku perintahkan pada tanggal dan
jam tertentu ia harus mengikuti aku dari kejauhan di bandung. Dia dan anak
buahnya harus mengenakan warna pakaian yang kelak akan kutentukan. Aku
ceritakan padanya, aku sedang mengincar sasaranku minke. Aku akan berusaha
omong-omong dengannya. Bila kami sudah siap, ia dan anak buahnya harus menghabisinya
tanpa menggunakannya senjata api, tajam atau tumpul. Harus dengan tangan
telanjang. Minke harus disingkirkan dengan jalan lain tanpa pembunuhan
“pikirku”. Pada prinses kasiruta aku kirimi surat palsu pada waktu suaminya
meninggalkan buitenzorg menuju bandung. Kegarangan, kesetiaan wanita itu pada
suaminya, harus dapat menyelamatkan suaminya dari perbuatan robert suurhof dan
teman-temannya. Dengan demikian minke tidak boleh mati dengan rencanaku semula.
Pada hari yang di tentukan telah kulihat
prinses kasiruta sudah sampai ditempat yang ditentukan dengan surat kaleng.
Segera ia melihat orang-orang dalam warna pakaian sebagaimana tertera dalam
surat. Dengan tenang ia mengikuti dan melindungi wajahnya dengan payung hitam.
Mata-mata polisi telah menunjukkan aku di mana minke berada. Minke nampaknya
curiga. Ia sangat waspada dan ingin
segera menghindari aku. Begitu terdengar tembakan, ia sudah lupakan aku sama
sekali, lantas hilang dari penglihatanku. Suurhof dan teman-temannya sudah
menjelemah ditanah. Sudah dapat kubayangkan sebelumnya, itulah yang bakal
terjadi. Tetapi ada sebilah pisau merobohkan anak buah suurhof? Ini tak pernah
kuduga sama sekali. Suurhof ternyata tidak mati, sekalipun tangannya sebelah
akan menjadi invalid selama-lamanya. Aku dan sang komandan sudah sepakat tanpa
bikin janji: sebaiknya suurhof mati. Di antara anggota kepolisian sendiri
rupa-rupanya hanya aku yang terlibat pada pekerjaan terkutuk ini. Kemudian
terjadi yang tiada kuduga-duga. Aku mendapat surat perintah melaksanakan vonnis
raad van justitie batavia atas diri minke, pemimpin redaksi medan perintah
pengasingan ke ambon. Hidup macam apa begini ini? Tetapi demi jabatan, dan
berbagai demi, aku berangkat juga ke buitenzorg. Ku ambil satu regu polisi
setempat, dan melakukan penangkapan. Minke bersikap tenang seakan tak terjadi
sesuatu. Dalam mengantarkannya ke pembuangan di ambon, aku diharuskan tidur
satu kabin dengannya. Harus ku ikuti kemana saja ia pergi. Aku tak boleh tidur,
dan harus bangun sebelum ia bangun. Aku ikut mengantar minke memasuki rumahnya
yang baru dijalan menteng dikota ambon. Sebelum pulang ke betawi masih kucoba
mengucapkan sepatah dua patah yang keluar dari hati-sanubariku.
Komandanku, komisaris van dam tot dam,
seorang yang membanggakan diri belanda tulen, tanpa campuran darah inggris atau
yahudi, pada suatu hari memberikan tugas aneh kepadaku: tumpas sisa-sisa gerombolan
si pitung yang bergerak diselingkaran cibinong, cibarusa dan cileungsi, masih
dalam kawasan betawi dan buitenzorg. Dari kriminal di meja tulis aku pindah ke lapangan.
Begitulah aku berangkat membawah sepasukan gabungan polisi-lapangan betawi dan
buitenzorg, dengan kekuatan mendekati enam puluh orang. Di daerah sisa
gerombolan si pitung berkuasa sudah tidak ada hukum lagi, tak ada pemerintahan.
Yang ada hanya teror, ketakutan, pembunuhan, penculikan, penganiayaan.
Tuan-tuan tanah inggris, tionghua dan belanda bersama keluarga, sebelumnya
telah melarikan diri dan mengungsi ke batavia atau buitenzorg. Dimana-mana
perlawanan gerombolan dapat dipatahkan. Bila mau memasuki kampung dua tiga kali
tembakan ke udara telah membikin kampung itu sunyi-senyap. Orang pada berlarian
menyembunyikan diri. Hanya anggota-anggota gerombolan yang tidak
sembunyi di dalam rumah. Mereka memusatkan diri dibalik rumpun bambu. Tiga ratus tahanan merupakan bukti
suksesku memang hampir tidak ada keterangan yang bisa diperas dari mereka.
Untuk mengetahui siapa-siapa pimpinan tidaklah sulit sekalipun mereka bungkam.
Barang siapa tidak takut pada amangan bayonet, itulah dia pimpinan, si kebal. Di
antara tiga ratus sekian tangkapan, delapan orang sungguh-sungguh kebal. Setiap
orang kebal mempunyai sekian banyak istri, sah maupun tidak sah. Dan
istri-istri itu menjadi sumber keterangan agak wajar. Salah seorang diantaranya
adalah nyi juju. Dalam pemeriksaan atas perempuan-perempuan ini terungkap
orang-orang eropa dengan centeng-centang mereka telah melakukan
perampasan-perampasan harta benda, kehormatan, menarik pajak berlebihan,
menganiaya, membunuh tanpa ada
pengusutan pada pihak yang berkuasa. Semestinya polisi bertindak terhadap kewenangan
tuan-tuan asing dan kaki tangannya, sebelum muncul perlawanan gerombolan si
pitung. Aku pulang ke betawi dengan kemenangan gilang-gemilang atas orang-orang
desa yang merindukan kehidupan sejaterah, membawah keharuman bagi polisi
lapangan, membawa kesadaran akan adanya politik putih yang selalu merugikan
penduduk dan aku pulang membawa pergumulan batin yang belum yakin mana yang
benar. Aku susun laporan lengkap, dengan harapan dapat menggeser tanggung jawab
dan gugatan nurani pada kekuasaan yang menugaskan padaku. Tak ada tanggapan tak
ada jawaban. Untuk melupakan beban ini aku coba mempelajari kertas-kertas
tentang si pitung. Bayangan wajah pitung mulai muncul. Berkumis dan berjenggot
jarang, berkulit langsat, tidak tinggi, berbadan gempal. Menurut kertas-kertas
itu setiap melakukan penyerangan ia berjubah putih, bersorban, pada kiri dan
kanannya berjalan dua pembantunya mengapit membawahkan tempat sirih dan
senjatanya. Dalam upacara pengangkatanku sebagai ajung komisaris hampir-hampir tak dapat aku
mencegah keinginan untuk menggerakkan tangan mengusir bayangan si pitung ini.
Ribuan orang eropa dan peranakan apalagi pribumi tak pernah merasakan pangkat
setinggi ini. Sekarang kamarbola harmonie
terbuka bagiku. Aku tahu betul si pitung tak pernah menaiki tangga harmonie. Kenaikanku menjadi ajukan
komisaris di sertai dengan kebiasaan mendengus zihh untuk mengusir bayangan si pitung. Kemudian meletus kerusuhan
serupa di lemah abang dan tambun, juga perlawanan penduduk terhadap kekuasaan
tuan-tuan inggris dan tionghua. Sesudah itu kerusuhan timbul juga di daerah
perkebunan P & T, pemanukan en tjiasem landen, negeri tanah partekelir
pemanukan dan ciasem. Dalam setiap kerusuhan ini aku lagi ditugaskan memadamkan
dengan kekuatan polisi lapangan
gabungan. Dalam hanya tujuh tahun aku telah meningkat dengan lompatan menjadi
komisaris dan dibebaskan dari pekerjaan lapangan ataupun kriminal.sebulan
setelah duduk-duduk dengan pekerjaan tak tentu, van dam tot dam memberi
perintah menyusun penggolongan para perusuh dari berbagai daerah berdasarkan
sikap dan tindak mereka terhadap gubermen.
Pada suatu sore ia membawa aku berjalan-jalan
ke kamarbola kenamaan itu. Semua sedang duduk melingkar seorang eropa, yang
hanya kelihatan botaknya saja dengan rambut jagung beberapa lebar yang
membentuk cabang. Tanpa melihat sisa kepala dan mukanya segera orang tahu,
itulah mr.K. intelektual dan sarjana hukum yang disegani oleh tokoh-tokoh kolonial
selebihnya. Ia di anggap teoritikus tanpa tanding. Aku dan tuan de beer
mengucapkan selamat sore, langsung mengambil kursi dan duduk. Hujan deras
turun. Suasana kamarbola semakin seram dan dingin. Tanya jawab memang menarik.
Setiap pertanyaan dijawab oleh mr.K. kemudian terdengar kata-katanya yang
takkan ku lupakan seumur hidupku. “ tajamkan pengamatan tuan-tuan. Kalau
tidak…Filipina kedua bisa terjadi atas negeri jajahan kita yang permai ini.
Kita bisa tertendang keluar. Salah satu Negara barat akan masuk, mungkin
amerika, mungkin jerman, mungkin prancis, atau mungkin juga inggris. Tapi
mungkin juga tidak.” Di perjalanan pulang dalam keadaan gerimis tipis, dingin
dan becek, tak dapat aku terbebas dari kata-kata mr.K dan gangguan pitung. Keesokan
hari bersama paulette aku pergi ke dokter dan mendapatkan perlop istirahat
selama seminggu. Kata-kata mr.K terus
juga menyorong-nyorong pada tugas-tugas baru yang bakal aku lakukan. Kesadaran
kebangsaan terpelajar pribumi hindia memang belum setinggi di Filipina.
Sekalipun begitu aku tetap harus mengintip kesana-sini, seperti mencari jarum dalam
tumpukan jerami. Makin lama aku makin curiga, orang-orang atasanku sengaja
telah menepatkan diriku dalam keadaan tidak menyenangkan ini. Kenaikanku
sebagai pribumi dari inspektur menjadi ajungan komisaris, kemudian komisaris,
bukan hanya tak menyenagkan rekan-rekan yang tertinggal, juga mencurigakan
mereka. Demikianlah maka kepolisian menjadi sumber penghidupan dan sekaligus
krangkeng. Begitu aku muncul di kantor besar setelah cuti habis, tuan de beer
menyambutku dengan kata-kata,” tuan pengemanan, nampaknya tuan segar kembali. Ada pekerjaan baru untuk
tuan”. Pekerjaanku yang baru: menekiti tulis-tulisan pribumi yang di umumkan di
Koran dan majalah, menganalisa, membuat interpiu dengan penulis-penulis itu,
membuat perbandingan-perbandingan dan
membuat kesimpulan tentang bobot, kecenderungan dan itikadnya terhadap gubermen
hindia belanda. Ini adalah pekerjaan yang sama sekali baru pada kepolisian.
Untuk keselamatan diri hanya ada satu jalan yang bisa ditempuh: bermuka dua dan
berhati banyak dengan sadar.
Pada
suatu hari datang intruksi baru atas dasar rencana kerja yang aku sendiri buat
dan disetujui oleh sepku: pada jam sembilan pagi aku sudah datang ke gedung
s’Landscharchief dengan surat
pengantar dari kantor algemeene secretarie. Dengan surat pengantar itu penjabat bersangkutan
buru-buru keluar kamar kerjanya dan menyambut aku. Ia seorang belanda totok,
muda, seorang arsivaris yang tak banyak diketahui oleh umum, bernama L. “pada taraf pertama, tuan,” kataku setelah
memperkenalkan diri, “aku ingin mempelajari tentang dokumen tentang Filipina.”
“ini pokok yang penting” katanya
menanggapi. Kalau mengenai yang khusus memang agak sulit. Cobalah tuan
datang lagi barang tiga hari lagi. Tepat tiga hari kemudian aku datang lagi.
Tuan L. menyambut aku di pendopo, yang dahulu menjadi tempat resepsi dan
berdansa dalam buaian lagu-lagu wals. Tetapi sekarang sunyi yang ada hanya
seorang penjaga merangkap penerima tamu
dan tuan L. Aku dibawa langsung kedalam gedung, kedalam sebuah kamar besar yang
lebih sunyi lagi, lembab dan lebih sejuk. “nah ini meja tuan.” Ia pergi dan
sebentar kemudian mengantarkan seorang pesuruh yang membawa setumpuk kertas.
Tumpukan kertas itu telah terbagi-bagi dalam klasifikasi persoalan sesuai
dengan metode entah sudah berapa orang arvivaris: tentang kejahatan, imigrasi,
perintah-perintah gubernur-gubernur jendral…tetapi tidak ada tentang filipina
sendiri. Sebuah surat
perintah dari gubernur jendral sloet van de boele membuat aku terbeliak. Surat
itu memang hanya salinan bukan yang asli, memerintahkan pada kapal-kapal
peronda agar waspada terhadap kapal-kapal bajak amerika yang berpangkal di
sebuah pulau kecil Filipina, yang berusaha menculiki penduduk lelaki dari
sepanjang pesisir Celebes utara, sebagai pengganti orang-orang tionghoa yang
mereka tak bisa dapatkan lagi dari pesisir tiongkok, untuk dijual sebagai
tenaga pada pertambangan-pertambangan di anerika selatan. Surat perintah itu bertahun 1864, di masa
hidup kakakku yang tak pernah kukenal.
Dokumen-dokumen
tentang pemberontakan bangsaku di Celebes utara sana terhadap penjajahan sepanyol tidak
menarik perhatianku, setidaknya untuk sekarang ini. Lima jam kemudian aku minta pertolongan de
man untuk mendapatkan minum. Ia pun memanggil pesuruh lain. Dan orang yang
belakang ini mengantarkan segelas susu hangat padaku. “tuan de man” panggilku,
dan ia menghampiri aku. Bisakah aku menyewa juru tulis untuk menyalin yang
kubutuhkan. “ sayang sekali tidak tuan”. “kalau begitu terimalah dokumen-dokumen
ini besok aku akan datang.” Keesokan harinya tuan L. berkunjung ke tempat
kerjaku di gedung arsip. Dari yang telah aku pelajari terkesan olehku
seakan-akan negeri tetangga Filipina terletak jauh dikutub utara sana. Dari masa
pemerintahan gubernur jendral van der wijck terdapat kertas dari tahun 1898 yang
menginstrasikan agar berita-berita tentang pergolakan pribumi di Filipina
dikekang dari pemberitaan umum. Kertas-kertas selanjutnya dari masa
pemerintahan rooseboom, gubernur jendral pengganti van den wijck antaranya dari
algemeene secretarie dalam bentuk catatan kepada gubernur jendral berisi saran,
agar menjelang penyelesaian perang aceh, segala kemungkinan seyogianya dicegah agar inggris
menghentikan bermain mata dengan aceh untuk kemudian mencaploknya. Sekarang
aceh bernaung dibawah kekuasaan hindia belanda, aceh tak bakal lagi jadi negeri
sengketa dengan inggris. Di hindia sebelah timur ada dua kekuatan kolonial
eropa lagi: jerman dipapua timur dan portugis ditenggara. Gubermen tidak
meributkan soal ini dan mengaggapnya sebagai kasus yang tak perlu diketahui
umum. Pada kunjunganku ketiga de man memperlihatkan diri makin tidak suka
padaku. Setelah empat jam membacai surat-surat aku temukan intruksi tuan besar
gubernur jendral roose boom lewat alegemeene secretarie kepada para gubernur
dan perwakilan para sindikat-sindikat di hindia yang memperingatkan agar
terbitan-terbitan yang dibawah kekuasaan mereka tidak memuat atau bicara
sesuatu tentang pergolakan di Filipina. Dari dokumen-dokumen yang aku pelajari
selama satu minggu penuh dapat aku tarik pelajaran, bahwa inggris akan menyesal
meninggalkan papua pada 1793.
Demikianlah
tiga bulan penuh aku melakukan kerja korek-korek iniuntuk mendapatkan gambaran
pokok tentang persoalan colonial hindia belanda dalam hubungannya dengan
pemberontakkan kaum terpelajar pribumi, dan kemungkinan mengundang intervensi
kolonial lain. Waktu aku minta berkas tentang timor portugis, tuan L. sekali
lagi mengantarkan sendiri. Dokumen-dokumen tentang hubunghan hindia belanda
dengan timor portugis terlalu sederhana sekali. Dan garapan selanjutnya adalah
tentang inggris dan borneo utara yang kaya minyak. Rupa-rupanya negeri jajahan
yang menarik adalah yang banyak penduduknya, tetapi lebih-lebih lagi kalau
subur dan kaya akan pelikan. Justru karena memilih yang banyak penduduknya,
belanda memusatkan kekuasaannya di jawa. Penduduk yang banyak itu dapat di
perkudanya dibawah ancaman senapan, meriam, dan bayonet. Maka kekuasaan belanda
di hindia terus-menerus berwatak jawa sentris. Dari jawa seluruh kawasan hindia
dan isinya dilihat dan di nilai. Mulailah aku mempelajari kertas-kertas. Apakah
ada petunjukkecendrungan jerman mau menggantikan belanda di hindia. Tidak
kutemukan. Beberapa hal yang menarik hanya tentang gubernur jendral van imhoff
yang jabatannya selama lima
tahun. Dialah yang dalam sejarah V.O.C., sebagai orang kebangsaan jerman, yang
telah mendatangkan sejumlah besar serdadu-serdadu jerman ke hindia. Dan orang
belanda berhati-hati terhadap segala yang bersifat jerman. Yang mengherankan
dalam berkas semasa pemerintahannya kujumpai sebuah syair cerita dalam melayu
berjudul sjair himon, sebagai ucapan
salah dari imhoff, dan lalu lintas surat
yang ramai tentang keberatan orang terhadap didirikannya jemaat luther untuk
serdadu-serdadu jerman. Berkas lain yang juga menarik adalah kertas-kertas yang
sudah lusuh tentang proses Pieter elberveldt, seorang jerman beribukan pribumi,
yang bersekutu dengan mataram untuk menggulingkan kekuasaan V.O.C. dan
penjermanan hindia. Kemudian aku pelajari berkas-berkas tentang kegiatan
perkabaran injil dari orang-orang jerman. Dengan tambahan bacaan dari
terbitan-terbitan khusus tentang studi-studi colonial, aku mulai susun kertasku
tentang kaum terpelajar pribumi dan kemungkinan hubungan mereka dengan kaum
terpelajar di negeri-negeri kolonial di sekitar hindia. Sesampai
di kantor besar, sepku memanggil aku di ruang kerjannya. ia ucapkan selamat
atas sukses pekerjaanku, dan telah mendapat perhatian dari atasan. Ia
perintahkan opas membawahkan kopi dan kue-kue, seakan sedang bersenang hati
dengan hasil pekerjaanku. Ia berbisik “ada surat resmi untuk tuan.” Dan dari
kantongnya sendiri ia keluarkan surat itu, diserahkan padaku. Afif akan keadaan
itu aku buka sampul dan membacanya. Kepalaku berputar, pemandangan gelap: mulai
hari kemarin aku di pensiun! Ya tuhan, inilah rupanya karunia dari gubermen,
setelah aku menjual diri, menjual prinsip, sedimikian hinanya. “ tuan tidak
suka mendapat pengsiun?” tanya sepku. “aku masih mudah, tuan”. “kalau begitu masih
ada sepucuk surat lagi untuk tuan,” katanya bermain-main. Tapi aku sudah
terlanjur turun semangat. Surat itu kuterima dan kumasukkan dalam kantong. “ mengapa
tuan tak baca sekaligus?” “terimah kasih, tuan. Sebaliknya aku pulang”. Ia
menepuk-nepuk bahuku dan mengantarkan aku sampai keberanda kantor, kemudian
memerintahkan seorang agen menyediakan kendaraan untukku. “Salam sejahtera
untuk madame”, pesannya. Dalam kendaraan aku menggugat gubermen yang tidak tahu
terimah kasih. Begitu kendaraan berhenti di bendara, sopir itu melompat keluar
dan membawa tasku, langsung kedalam rumah. “kau begitu pucat, jacques!” tegur
istriku. Sopir itu membantu memapah aku dan masuk ke kamaku, membungkuk,
kemudian keluar pergi. “ begini lemah kau belakangan ini, jacques. Masih dua
anakmu belum lagi dewasa, jacques,” ia turunkan kelambu, mendekat lagi,
menciumi aku, dan “apa kurang aku mencintai kau. Jacques?” ia keluar dari kamar
membawa pakaian kotor. Tapi tak lama lagi datang lagi, membuka kelambu dan:
“ini ada surat resmi, jacques. Masih tertutup mangapa tak segera kau baca?”
Daftar kesalahanku, pikirku. “taruh saja
di laci, sayang.” “Tidak ada cara!” bantahnya, “ surat-surat dinas harus segera
di pelajari. “bacalah sendiri, sayang, Aku sangat lelah.” Tiba-tiba, “jacques!”
petik istriku. Ia goyang-goyangkan badanku, demi kesopanan aku terpaksa
terlentang dan memberikan perhatian. “Ada apa sayang?” ucapku. “kau dapat
promosi ! ia peluk dan cium aku. Ia tak menguasai bahasa belanda. Aku akan
menerima pensiun sebesar dua ratus gulden.
Harmonie tertutup selama-lamanya untuknya. namaku akan di coret dari daftar
anggota. Tak sampai hati aku melihatnya kecewa
karena keliru mengartikan surat. Tiba-tiba, “kita pindah ke buitenzorg,
jacques. Keppindahan ke buitenzorg? Mengapa mesti ke buitenzorg? “tidak salah
kau membacanya, sayang?” “setiap patah kata aku mengerti.” “senangkah kau,
sayang?” “siapapun akan senang, jacques, kalau suaminya di naikkan ke kantor
algemeene secretarie.” Aku melompat dari ranjang. Aku rebut surat itu, membacanya
sendiri. Tak ada satu kata pun istriku salah mengartikan: aku dipindahkan ke
kantor algemeene secretarie dengan tambahan gaji dua ratus gulden dan diharuskan
pindah ke buitenzorg, dengan rumah yang disediakan.
Kalau tidak di tarik istriku, mungkin aku masih
termangu-mangu di depan tempat tinggal baru itu di buitenzorg. Anak-anak
berlarian berebut masuk ke dalam. Istriku tak lagi dapat menahan hatinya untuk
segera memeriksa apakah semua sudah ditempat-tempatkan secara tepat sesuai
instruksiknya. Hanya aku tinggal termangu-mangu: rumah itu adalah bekas
kediaman raden mas minke. Di seberang jalan sana daerah istana gubernur
jendral. Pelataran rumah luas, sangat
lega sekali bernafas.
Pohon-pohon besar dan rindang terpelihara,
hijau menyegarkan mata. Rumahnya pun gedung batu, besar lagi indah, lebih mewah
dari pada rumah kami yang lama. Terdengar tawa bahak di belakangku. Aku
menoleh. Pitung dan minke tertawa sambil menuding dan berunding dengan mata
mereka. Zihh, zihh, zihh!. “ kau mulai lagi, jacques” tegur istriku. Gubermen
telah mengalahkan kalian, pitung, minke, jangan bertingkah! Dan masuklah aku
kedalam rumah. Sore itu juga kami mendapat kunjungan para tetangga, ternyata
pembesar-pembesar kantor algemeene secretarie. Tak lebih dari seperempat jam
mereka berkunjung, kemudian kembali. Pada hari berikutnya, hari minggu, tuan L.
dan istrinya datang menginap. Mereka akan pulang ke betawi dengan kereta api.
Tuan L. akan langsung ke kantor dan istrinya pulang kerumah. Aku agak terhibur
dengan kedatangan tuan L. Sore-sore duduk di kursi kebun, berdua, aku yang
memulai, “kalau tuan berpendapat kekalahan jawa karena mereka kehilangan
prinsip, karena tergila-gila mencari persamaan, kalau portugis dulu menghubungi
jawa dengan lemah lembut, tentunya jawa akan menjadi katolik sejak abad kelima
belas.” “tuan tidak keliru,” jawabnya. “apa saja akan dia terima kalau
memperlihatkan kesamaan. Begitu yang terlihat prinsip, mereka jadi curiga dan
menarik diri, mungkin juga melawan.” Mengerti wayang adalah mengerti sejarah
pandangan hidup dan pandangan sejarah manusia jawa. Menguasai perwayangan
sebagai subjek, tuan, berarti menguasai manusia jawa. Ini salah satu dasar
untuk jadi ahli kolonial hindia. Sekiranya ada orang jawa yang menguasainya
sebagai subjek, maupun melepas diri dari cengkraman pewayangan itu sendiri,
jalannya masih jauh untuk dapat merombak dirinya, tuan. Alam wayang ini satu
bangunan tersendiri yang tidak dapat disentuh oleh gagasan-gagasan modern.
Apakah manusia jawa itu kristen, apakah dia islam, apakah dia tak beragama,
mereka semua terhisap ke dalamnya sebagaimana di rumuskan oleh prapancadan
tantular.
Waktu orang portugis datang ke maluku,
tanpa sesuatu perlawanan orang berbondong-bondong masuk nasrani. Memang ada
alasan sosial-historis: dalam sepanjang sejarah mereka selalu dijajah, tidak
pernah merdeka sebagai bangsa, justru karena kekayaan buminya akan
rempah-rempah. Begitu portugis di halau dari maluku oleh jan pietersz. Coen
pada paroh kedua abad tujuh belas, juga tanpa perlawanan mereka meninggalkan katolik
dan menjadi protestan. Mereka menggunakan penyesuaian, mengakomodasi diri, dengan
kekuasaan datang menjajah. Memang pembuktian-pembuktian tentangnya tidak bisa
di katakan sambil-lalu begini. Pada suatu barang kali aku mendapat kesempatan menerbitkan sebagai sebuah studi.
Jangan dikira bahwa penyesuaian, kompromi, akomodasi diri, hanya watak khas
bangsa-bangsa di hindia. Tidak, tuan itu watak semua bangsa yang membuang
prinsip dengan pertemuannya dengan bangsa-bangsa yang lebih berprinsip. Aku
buang pandanganku ke arah jalan raya. Dibalik pagar sana, pagar tembok rendah,
bagian atasnya bilah-bilah kayu bercat, dan bagian dalamnya ditanami kembang
sepatu, aku lihat dua sosok tubuh berdiri beriring. Keduanya perempuan. Yang di
depan diam saja. Yang dibelakang gelisah menarik-nariknya. Baranga kali dua
orang pengemis yang ragu-ragu hendak masuk. Dua orang perempuan itu rupanya
sama sekali tidak pernah tahu, daerah istana ini daerah larangan untuk
mengemis.
Wanita-wanita itu masih ada pada pagar
sana. Sekarang yang seorang menarik-narik yang lain, mungkin mengajak pergi.
Yang satu tetap bertahan, tanpa menengok pada yang menariknya. Pandangan mereka
tertuju pada kami. Aku minta diri sebentar pada tuan L., masuk kerumah dan
menelpon kantor polisi setempat untuk mengusir dua orang wanita itu. Matahari
telah tenggelam. Dua orang agen polisi datang tanpa memasuki pelantaran kami
dan mengusir dua wanita itu dengan penggada karet. Aku tak tahu pasti apa yang
terjadi selanjutnya, kegelapan menghalangi pandanganku. Malam itu tuan L.
menginap dirumah kami bersama istrinya. Pagi-pagi benar mereka turun ke betawi.
Pada jam delapan pagi aku datang ke kantor baruku. Seorang pegawai membawa aku
menghadap pada sepku yang baru. Ia ternyata seorang sarjana hukum, seorang
prancis dan didikan prancis, tuan R. Ia sambut aku dengan keramahan yang tak
terduga-duga, dalam prancis, “ sudah setengah mati aku mencari tenaga penalaman
yang menguasai bahasa melayu, berpendidikan tinggi, menguasai bahasa-bahasa
modern. Tuan anak angkat tuan apoteker de cagnie, bukan? Dari lyon?” ia
memberondong aku. “Sekarang beliau sudah menarik diri dari perusahaan. Tuan
sudah tahu, bukan?” “tentu saja, tuan,” jawabku. “malahan kami bermaksud akan
mengunjuginya dalam tiga bulan mendatang sewaktu cuti eropa.” “lupakan cuti
eropa itu. Mari!” dan diajaknya masuk ke sebuah ruangan. Dan dengan bahasa
perancis lidah selatan ia mulai menerangkan tugas baruku. “tuan sangat di
butuhkan disini.” “ menurut penilaian banyak orang, bahasa melayu tuan cikup
baik. Cocok sekali cengan pekerjaan tuan yang baru. Jadi setiap saat aku bisa
bertanya pada tuan. Memang tugas baru tuan sangat sederhana: hanya menjawab
pertanyaan- pertanyaanku, bukan sebagai terdakwa, tapi sebagai tenaga ahli.
Menurut katerangan, tuan sangat berpengalaman bertahun-tahun dalam hal ini.
Pertanyaan-pertanyaanku terutama tentang kegiatan terpelajar pribumiyang tidak
di kehendaki, yang menyimpang dari acuan yang telah ditentukan oleh politik
etik.”
Sejak hari itu aku mendapat kehormatan
menduduki sebuah ruangan khusus, seorang diri, dengan lemari besar berisikan
dokumen-dokumen, resmi, umum, dan pribadi dari dan terpelajar pribumi.
Tulisan-tulisanku untuk kepolisian aku dapatkan dalam lemari besar ini. Berkas
paling gemuk tentu saja berjudul raden mas minke, terpelajar pribumi yang
paling giatdalam enam tahun terakhir. Di dalamnya juga terdapat
guntingan-guntingan surat kabar dengan inisial terkenal dari pimpinan redaksi
medan itu, guntingan-guntingan koran dalam perancis dan jerman yang mengutip
koran tersebut. Mungkin minke sendiri tidak mengetahui adanya semua ini.
Laporan wawancaraku dengan minke juga terdapat dalam berkas ini, dan
pertimbangan-pertimbangan untuk
membuangya dibubuhi paraf oleh tiga orang yang tak kukenal dan mungkin akan
segera aku ketahui siapa. Tuan R meninggalkan aku seorang diri di dalam ruangan
yang sama dinginnya dengan ruang kerjaku di s’landscharchief. Terdengar ketukan
pintu. Seorang pesuruh berpakaian serbah putih seorang peranakan yang ganteng,
bermata tajam dan berhidung mancung, masuk, kelihatan segan menghormati aku, berdiri saja dengan pandang
padaku. “siapa kau” gertakku tersinggung. Baru ia mengagukkan kepalanya
sedikit, “frits doertier, tuan, pesuruh tuan.” “ apa sekolahmu” tanyaku pendek.
Ia nampat tersipu, menutupi kegugupannya dengan membetulkan rambut, kemudian
baru menjawab, “sekolah dasar, tuan.” “apa kepentinganmu masuk kemari?”
Gertakku lagi. “keluar” perintahku. Ia keluar tanpa memberi hormat. Belum lagi
lama pintu diketuk lagi. Sekali ini masuk seorang totok, bertubuh gemuk dan
tidak begitu tinggi. Seluruh rambutnya sudah putih. Juga ia menggunakan pakaian
dinas putih-putih. Ia mengangguk dalam memperkenalkan,” peraturan rumah tangga,
tuan, nikolaas knor.” Kemudian ia pergi
dengan mengganguk sangat sopan, hilang di balik pintu. Mau tak mau aku pandangi
daun pintu yang besar dan sangat berat itu. Siapa lagi yang akan muncul
sekarang? Memang benar satu katukan lagi, lambat-lambat dan sangat berhati-hati.
Aku tak menjawab. Ketukan berulang aku masih tatap diam. Ketukan lagi. Aku
tatap diam. Tangan-tangan pintu nampak bergerak, kemudian daun pintun di dorong
ke dalam. Seorang berpakaian serba putih menjenguk ke dalam , kemudian
melangkah masuk dan menutup kembali daun pintu. Ia membawa sulak bulu ayam pada
tangan satu dan lap flanel pada tangan yang lain. Kuambil sebatang rokok lalu
kunyalakan. Kuhembuskan nafas dengan keras. Orang itu tak jadi menghampiri
lemari berkas-berkas kertas. Ia menengok ke belakang. Melihat aku
memperhatikannya dengan tiba-taba ia mengeragap, mengagguk terpaksa, dan
mukanya pucat. “ selmat pagi, tuan.” “selamat pagi, siapa nyuruh kau datang
kemari?” “simon zwijger, hendak membersihkan ruangan ini.” Pada waktu itu
telepon di atas meja berdering. Aku datang menghampiri dan mengangkatnya. Tuan R.
memanggil aku untuk segera datang ke ruangan A sekarang juga. Setelah itu aku
menyuruh tuan simon zwijger untu keluar dari ruanganku. Ia keluar dengan
menunjukkan muka masam. Dan begitu keluar pintu aku kunci, barulah aku pergi ke
ruangan A. Di sana telah menunggu para penjabat tinggi. “selamat pagi,” aku
memulai. Tak ada yang menjawab. Hanya mengganguk tak acuh. Tuan R bangkit dari
kursinya dan memperkenalkan aku pada mereka.
Seorang demi seorang aku awasi dan aku perhatikan waktu di perkenalkan
padaku. Satu orang di antara mereka adalah penentu-penentu nasib hindia
belanda, manusia, bumi dan seisinya. Semua diantara kami adalah otak kekuasaan
hindia belanda, sebagaimana kemudian aku ketahui, dan bahkan gubernur jendral
di sebelah tembok sana hanyalah sebuah pakaian seragam dengan tanda-tanda
kebesaran, yang melaksanakan apa yang kami pikirkan. Pertemuan perkenalan itu
hanya sebentar saja. Tidak ada sepuluh menit, kemudian bubar. Yang tertanggal
dalam ruangan A hanya tuan R., tuan GR. dan aku. “aku yakin tuan pengemanan
akan harus bayak bekerja sama dengan tuan GR.,”ucap tuan R. Dalam hal apa aku
belum lagi tahu. “tentu saja,” sambut tuan GR. Setelah itu tuan R pergi,
setelah mengangguk pada kami berdua. Aku duduk berhadap-hadapan. Tuan GR.
menjetik-jetik pipa celananya yang kejatuhan abu cerutu, meletakkan tangan
kanannya di punggung tanganku yang terletak di atas meja, seakan-akan aku anak
kesayangan, kemudian berbicara dengan suara rendah “sukakah tuan mendapat sep
orang perancis?” “baru pagi ini aku mengenalnya, tuan,” jawabku. Tiba-tiba ia
mengambil pokok yang mungkin telah di persiapkannya, “ada tuan mempunyai
perhatian tentang penduduk tionghua kawula hindia?” “seharusnya ada, tuan.” Aku
ingin mengajukan pertanyaan sekedarnya, sekalipun ini bukan kewajiban tuan. Apa
yang menarik perhatian tuan setelah tiongkok menjadi republikdi bawah sun yat
sen?” “belakangan ini banyak orang-orang tionghua menulis, tuan,” jawabku,
“juga menerjemahkan syair-syair tiongkok dalam melayu, penerbitan cerita-cerita
dalam gaya eropa.” “dengan gaya cerita eropa! Apa tuan tak terburu-buru
menggunakan penilaian itu?” tanyanya tiba-tiba. “ kalau aku tadi tuan anggap
terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan, jadi bagaimana yang benar menurut
tuan?” tuan GR. menguji aku dengan matanya, kemudian, “menurut pendapatku,
bangsa tionghua tak perlu meniru gaya eropa. Paling tidak mereka sudah mulai
menulis lima belas abad sebelum eropa menulis. Mereka termasuk bangsa yang
mencintai kenyataan, biarpun sudah terpengaruh oleh kepercayaan-kepercayaan
hindu dan buddha. Maksudku dalam gaya bercerita, mereka tak perlu belajar dari
eropa. Mungkin yang sebaliknya terjadi. “mereka belum pernah menang terhadap
eropa,” kataku, dan sekaligus aku teringat pada kata-kata tuan L. tentang
bangsa jawa. “ betul. Dalam politik dan di dalam masa hidup kita. Mereka pernah
menerjang eropa, menginjak-injak dengan kaki kudanya.raja-raja eropa sujud
menyembah pemenang sipit, dan meninggalkan becak-becak mongol pada pantat
bayi-bayi eropa sampai sekaranag.” “ tapi itu bukan tiongkok. Itu jengis khan
yang besar.” “ sama saja tuan. Mereka satu ras dengan satu kemampuan,” ia behenti lagi dan seperti seorang guru
meneruskan ujiannya, “ada teringat oleh tuan nama-nama peulis tionghua dalam
melayu itu?” “nama-nama tionghua sudah di hafal. Maafkan, tuan. Kalau aku tak
keliru antaranya lie K.H.,Kwee T.H., tan B.K. mungkin aku salah melafaskan
nama-nama itu.” “cukup tuan.
Tiga-tiganya tuan sebut secara benar. “aku kira kita akan bisa bekerja sama,
tuan. Maafkan, aku masih harus meneruskan pekerjaan,” ia mengangguk. Sebelum
meninggalkan aku ia masih bicara, “ kita masih akan bertemu hari ini.” Aku
tertinggal seorang diri diruangan A. Dengan sendirinya aku tanganku membuat
salib, “lindungilah aku. Pimpinlah aku.” Baru akun tinggalkan ruangan A, masuk
ke ruanganku sendiri. Pesawat telepon berdering lagi. Tuan R. memanggil ku
datang. Tuan R. menyambut aku dengan ramah seperti sepagi. Dengan sopan,
“letakkan senjata tuan dia tas meja ini.” Aku tarik pistol dari balik baju
premanku dan ku letakkan dia tas meja. Ia mengambil pistol itu dn memasukan
kedalam lacinya. Dari laci itu juga ia keluarkan pistol yang lebih kecil dan
diperlihatkan padaku, “bukan bikinan inggris, tuan, ini bikinan amerika.”
Karena umum belum percaya pada bikinan amerika, “kalau begitu lebih baik yang
lama saja.” “tuan belum mengenal senjata
amerika, makatidak suka,” katanya. “lagi pula senjata tuan kepunyaan
kepolisian. Biasakan dulu menggunakannya. Dan untuk tuan aku berikan satu kotak
peluru tambahan untuk berlatih. Ia meletakkan senjata itu, peluru dan
surat-suratnyadi atas meja. Penggunaan peluru tidak perlu di laporkan pada
polisi, cukup padaku, dan semua akan beres. Ia bangkit berdiri, pergi ke lemari
dan mengeluarkan barkas masih terikat
dengan pita dan dengan sapul di matikan dengan lak. Barang itu ia letakkan dia
tas meja. “ini berkas pertama untuk tuan palajari.” Kemudian segera menyambungnya, “ambillah
pistol itu. jangan selipkan pada piggang, tapi gantungkan pada ketiak.” Ia
membuka lacinya lagi dan mengeluarkan sarung dan tali pengikat dari kulit
hitam. Dengan barang-barang itu aku kembali keruanganku sendiri. Aku buka
jendela, mengunci pintu dan aku buka bajuku. Tali-tali pengikat pistol itu
mulai aku pasang masukkan senjata iti dalam sarungnya di bawah ketiak, kemudian
baju itu aku pakai kembali. Barun saja aku bersiap-siap hendak membongkar
berkas yang masih di lak, telepon berdering lagi. Tuan R. memanggil aku lagi. “
tahukah tuan, tuan sudah melanggar hukum?”
“kira-kira tahu tuan, pistol dan peluruku belum dilindungi surat-surat.
Tapi bukankah semua aku lakukan atas perintah tuan sebagai kepalaku?” ia
tersenyum. “ini surat-suratnya dan bubuhkan tanda tangan dia atasnya. Sudah itu
semua akan menjadi sah.” Aku lakukan apa yang di kehendakinya. Aku kembali
keruanganku. Aku angkat pandanganku dari berkas. Di depanku berdiri orang
berjubah putih dan bersorban putihi itu. Zihhh, zihhh. Tapi bayangan itu tidak
menghilang, nalh menantang, menuding telunjuk: tuan duduk di ruangan ini justru
karena tuan lebih parah dari padah tuan R. Setidak-tidaknya kalian berdua,
kalian semua di sini, hanya sekelompok orang sakit, kalian menumpas kami karena
menganggap kami penjahat. Kalian di sini tidak lain penjahat resmi, kami tidak
resmi. Aku ambil berkas itu dan kututupkan pada mukaku. Zihhh, zihh, pergi
kau. Daun pintu kubuka, dan kulihat
friths doertier lewat dengan langkah cepat membawa nampan kosong, tak berisi
air diatasnya. “frits!” ia menengok padaku dan berjalan terus tanpa menjawab. Teringat
bahwa sebelum pergi aku harus membenahkan berkas kedalam lemari dan mengunci
jendela, aku tak jadi melangkah maju, tapi berbalik untuk memasuki ruangan.
Tiba-tiba bulu kuduku berdiri dan bulu romaku berdiri lagi. Aku tak berani
memasuki ruanganku sendiri, aku berdiri seperti orang kehilangan akal. Dan
betapa beruntungku tak melihat orang lain lagi di koridor itu kecuali frits
doertier. Aku tahu dia membalaskan dendamnya kepadaku. Nicolaas knor dimana
ruanganmu? Ah, aku tak dapat tinggalkan ruangn ini dengan jendela terbuka
seperti itu. Orang bisa masuk dan bergerayangan, meletakkan tangan pada
dokumen-dokumen yang bukan haknya. Dan aku bisa celaka. Rasanya lama sekali aku
berdiri di depan pintu. “Frits” tegurku dalam bahasa belanda. Ia berhenti
didepanku. “panggil tuan knor.” “baik,” jawabnya kaku. Nicolaas knor kelihatan
dari kejauhan.ia mengangguk hormat menunggu perintah. “masuk tuan knor,” kataku
menyilakan dan aku membututinya masuk. “nampaknya tuan tidak begitu sehat,”
katanya setelah duduk di kursi di hadapanku. “barangkli, tuan. Bulu kuduku
berdiri dan bulu romaku suka berdiri. Mengkin kamar ini terlalu lembab.” Ia
hanya mendehem dan membuang muka ke jendela. “mungkin susu panas akan menolong
aku, tuan knor” “biar, aku siapkan, tuan. Apalagim tuan kehendaki?” ia bangkit
dan akupun bangkit. Ia berjalan keluar dan aku membututinya dengan mataku.
Rasanya begitu lama, dan ia tak juga hilang dalam pandanganku. Nicolaas knor
datang lagi di iringi oleh frits doertier yang membawa nampan dan susu panas.
Mereka masuk dan aku membututi. Tuan knor mengambil susu dari nampan dan
meletakkannya di atas meja. “juga wiski, frits, dengan tiga gelas seloki,”
perintahku. “satu botol.” Frits mengangguk gembira dan buru-buru pergi. Begitu
duduk di tempatku segera aku bertanya: “tuan knor, siapam tuan yang aku
gantikan?” “tuan mr. De lange.” “pergi dengan pensiun atau...” “kecelakaan,
tuan, kecelakaan rumah tangga.” “apa maksud tuan dengan itu?” “bunuh diri,
tuan.” “di sini?” “di sini, tuan,dengan
sublimat,” katanya perlahan kemudian menuding pada pintu, “itu terkunci.
Ketahuan waktu bubar kantor. Dia tak keluar-keluar. Masih begitu muda. Baru
lima tahun lulus universitas. Dari jendela sana,” aku mengintip dari situ. God!
Tuan de lange sudah menggeletak. aku tak berani masuk. Melapor melalui telepon
pada keamanan istana. Mereka datang dan
masuk dari jendela. Di sini tuan, ! ia
menuding pada lantai, dekat pada kaki meja. “darah keluar dari mulut, dari
pori-pori kulit. Mungkin pembuluh-pembuluh darahnya pecah semua. Tak tahulah
aku.” “mengapa dia bunuh diri?” tanyaku. “tak ada yang tahu sampai sekarang.”
“mengapa disini dia bunuh diri?” “hanya dia sendiri yang tahu tuan.” Frith
doertier datang membawa wiski. “mari, duduk di kursi sini, frits. Mari kita
bertiga minum untuk persahabatan kita!” dua orang itu menjadi periang karena
wiski. Aku sendiri minum berseling-seling susu. Waktu muka frits sudah
kelihatan kemerahan-merahan ia aku suruh pergi, dan ia nampak sudah tak
membenci aku. “tak pernah terdengar ada peristiwa bunuh diri di sini,” kataku.
“memang tak perlu di ketahui, tuan.” “keluarganya tak ada yang mengurus?”
“tidak berkeluarga, tuan.” “barang kali karena percintaan?” “siapa yang tahu,
tuan. Dia seorang periang yang di sukai wanita.” “apa nama panggilannya?”
“simpn, tuan, simon de lange.” “tuan
knor, pernahkah tuan memasuki ruangan ini seorang diri?” ia nampak terkejut
mendengar pertanyaanku. “ sebagai pengurus rumah tangga dengan sendirian,
sering tuan.” “kapan tejadi kematian
itu?” “tiga hari senelum kedatangan tuan.” “terimah kasih atas kesudian tuan
menemani aku, tuan knor.” Ia bangkit dari tempat duduknya. Jendela dan pintu
kubiarkan terbuka. Berkas berlak itu mulai kupegangi lagi. Dari laci
kukeluarkan gunting dan kuputuskan tali pengikat berkas itu. Isinya adalah
catatan pembekuan semua harta benda milik S.D.I. pusat yang berada dalam
kekuasaan raden mas minke. Perumahan penerbitan medan di bandung, benda bergerak maupun tak bergerak: benda tak
bergerak termasuk rumah untuk para pekerja penerbitan; benda bergerak termasuk
uang di dalm dan di luar bank; kios-kios medan di bandung , buitenzorg, betawi
dan kota-kota besar di jawa: perusahaan impor kertas, barang tulis-tulisan dan
alat-alat kantor di betawi; hotel medan
di jalan keramat, betawi; seluruh isi
rumah tangga raden mas minke di
buitenzorg. Kemudian juga pembekuan
perusahaan impor bahan-baku batik dari jerman dan inggris yang di
usahakan oleh S.D.I. cabang sala. Sampai di situ kertas-kertas itu
kubalik-balik kembali. Kupelajari dan kupelajari. Tak ada tanda-tanda pembekuan
itu di laksanakan berdasarkan keputusan pengadilan. Semua di laksanakan di luar
hukum.
Kuraih lagi botol itu. Kosong. Kuraih
gelas susu. Kosong. Frits, oh frits, ambilkan aku sebotol lagi. Dia tak kunjung
datang. Kertas-kertas itu kubaca terus. Jelas semua pembukuan dilaksanakan oleh
sebuah komisi. Dan ketua komisi itu De Lange, tuan Mr.De Lange, yang beberapa
hari yang lalu, ada seminggu? Menggeletak dengan darah yang keluar dari
pori-pori mulutnya di samping mejaku ini. Mengapa, kau De Lange? Tak tahan di gerogoti
nuran?
Aku teliti lagi surat-surat itu. Aku
perhatikan tandatangan tenaga ahli yang aku gantikan itu. Beberapa di antara
tandatangannya seakan gemetar, dia tahu, seluruh ilmu hukum yang di pelajarinya
di Universitas lebur jadi debu menghadapi pelaksanaan ini. Karena itulah kau
bunuh diri De Lange? Goblok. Kau lebih berpihak pada nurani mu daripada
nyawamu. Goblok. Dering bel tutup kantor terdengar. Berkas itu kumasukkan dan
kunci dalam lemari. Jendela aku kunci sendiri, kemudian juga pintu. Anak kunci
aku kantongi dan aku bawah pulang sesuai dengan peraturan.
“Tuan Knor,” kataku memberi perintah,
“sediakan mobil untukku, dan seorang sopir yang baik. Ada urusan.” Mobil itu
melaju kencang menuju ke betawi. Langsung ke kantor besar kepolisian.
“kau boleh antarkan mobil ini ke kantor,”
perintahku pada sopir. Mengangguk menghormat dan mengiakan, ia kemudian naik ke
dalam mobilnya kembali, menghilang dalam kepulan asap dan debunya sendiri. Aku
masuk ke dalam kantor. Langsung menyambar pesawat telepondan memanggil taksi.
Di dalam taksi! “lambat-lambat saja jalannya,” perintahku pada sopir. “ke
kwitang.”
Pintu pavilyun Rientje de Roo tidak
tertutup. Begitu mobil berhenti pada jenjang beranda, segera aku lompat naik,
masuk rumah. Perempuan muda itu sedang keluar dari kamarnya membawa tas. “tuan
pengemanan,” tegurnya, “tapi aku mau pergi.” “Godverdomme!” sumpahku. “tak ada
yang menyambut semacam itu.”
“mau berangkat ke bandung, tuan. Sudah
memesan taksi.”
Aku tarik dia keluar rumah, ia kunci pintu
depan. Kami naik keatas taksi. Dan Rientje de Roo duduk di sampingku, diam
saja. Bahkan memandangiku ia tak berani. Persetan apa kata orang. “tanah abang
bukit!” perintahku pada sopir.
Ia diam saja, mungkin menyangka sedang ada
perkara menyangkut dirinya. Taksi langsung menuju ke panggung, sebuah rumah
loteng kayu luas di tanah abang bukit, rumah plesiran seorang letnan tionghua.
Di rumah itu sudah banyak orang. Letnan swie
menyambut aku bertanya, “heran, tuan pengemanan, datang mengontrol membawa
Rientje.” Pada mata Rientje de Roo masih nampak kecurigaan yang liar. Aku
tangkap pinggangnya dan kubawah ketempat kasir. “sepuluh cit dari setengah
gulden, bah!”
Rientje melirik padaku tetapi tetap tidak
buka mulut. Sambil menerima sepuluh cit terbuat dari tulang, dengan tulisan
tionghua berwarna merah, aku bisikkan padanya, “aku percaya kau dapat habiskan
sepuluh cit ini dalam waktu sepuluh menit.”
Ia masih juga tak bicara. Cit-cit itu di
terimanya dengan diam-diam. Aku tangkap pinggangnya dan kubawah ketempat
roulette. “kau jangan pergi kemana-mana. Habiskan cit ini. Nanti aku datang
kembali kesini.” Pergilah aku meninggalkan ruangan roulette, memapasi dan
melalui banyak orang tionghua tua berkuncir dan tionghua muda berpakaian
eropaberambut pendek, berminyak rambut dan bersisir rapi. Pada umumnya mereka
menyingkir memberi jalan padaku.
Di sebuah pojokan aku duduk pada sebuah
bangkurotan mengawasi gerak-gerik si Rientje de Roo dari kejauhan. Tak ada
seorang pun yang menghampiri Rientje. Dari kejauhan nampak ia kehilangan citnya
yang pertama, kalah. Ia sedang menggunakan yang kedua.
“tuan komisaris,” tionghua berkuncir itu
datang padaku, membungkuk-bungkuk dan menghormat dengan dua tinjunya pada dada
sehingga lengan bajunya yang lebar jatuh pada sikut dan memperlihatkan
lengannya yang bertulang tanpa daging. “senang sekali hati ini tuan suka duduk
di tempat ini. Apakah sudah memerlukan arak widungan, tuan komisaris? Sekali-kali coba tak ada
jeleknya, tuan. Tuan tidak pernah mencoba, tidak percaya.”
Ia pergi dan membawa cangkir tembikar
kecil di ats nampang kayulak merah bergambar timbul seekor naga.
“teguk sekaligus, tuan, tak beda dengan
minuman keras yang kering lainnya.” Tanpa kupikir lagi arak itu kuteguk. Kadar
alkoholnya tidak beiu tinggi , labat tapi lebih membekas. Tionghua itu masih
tetap berdiri menunggu. Dan aku tahu ia menunggu harga araknya. Aku merogoh
kantong.
“percobaan, tuan, tak usah bayar,” dan ia
keluarkan beberapa buah kunci dari kantongya. “tentunya tuan perlu salah sebuah
dari kunci-kunci ini.”
Untuk kunci ini memang tuan harus bayar.
Lima gulden, tuan, sampai matahari terbit.” Ia menerima uang yang
dikehendakinya dan tak menghubris aku lagi. Sampai di tempat roulette Rientje
masih sibuk dengan permainannya. Di depannya sudah ada lima puluh cit-duapuluh
lima gulden. “selesai Rientje, mari pergi.” Ia kumpulkan semua citnya dan kami
pergi ketempat kasir untuk mendapat tukaran tiga puluh gulden-hampir separoh
biaya untuk pelajaran anak-anakku di nederland.
“semua untukmu, Rientje.” Ia masukkan tiga
puluh gulden itu kedalam tasnya, kemudian berdiri diam-diam menunggu
perintahku. Sekali lagi aku sambar pinggangnya dan aku bawah ke tanga naik ke
loteng. “kita naik Rientje.”
Tangga kayu yang dilapisi permadani itu
sama sekali tidak menerbitkan bunyi waktu di injak. Sampai di loteng, sebuah
permadani panjang membawa orang ke kamar-kamar yang di kehendaki. Aku berikan
kunci kepadanya. Ia menerimanya dengan diam-diam, dan langsung ke kamar yang
nomernya ada pada anak kunci. Keesokkan hari belum lagi aku lama duduk di
kursiku. Tuan R. masuk ke kamarku mengucapkan salam, dan duduk di tentangku.
“hari ini aku pertama-tama aku ingin
menyatakan penghargaanku pada tuan. Perhatian tuan sungguh tajam pada hal-hal
yang tidak aku perhatikan.tuan menyisihkan waktu untuk cerita-cerita melayu tulisan
penulis-penulis tionghua itu. Lie K.H. tapi aku tidak begitu dapat di yakinkan dia
punya sesuatu hubungan dengan kebangkitan di tiongkok.” Tentang lie K.H. Tak
banyak yang aku pelajari secara mendalam.
Aku tahu dia sedang menguji pengetahuanku
pribadi tentang dunia pribumi pada masa ini. Segera aku berondong dia dengan
pembuktian-pembuktian, bahwa bukan saja pribumi hindia di jawa sudah bangkit,
bahkan telah menetapkan ranjau-ranjau waktu di kota besar, yang setiap saat
bisa meletus dan membakar. Bahwa itulah justru motif pembuangan raden mas
Minke: menyingkirkan inisiator atau sang
pemula dari suatu kebangkitan nasional.
Sebelum
Wardi dan Edu berangkat ke pembuangan ke Eropa, Pangemanann telah ajukan
permohonan untuk mengantarkan para buangan itu sambil menjalani cuti-Eropannya.
Tapi Sepnya tidak setuju. Melarang adalah kesukaan kolonial yang memberikan
kenikmatan tersendiri. Rasa-rasanya diri menjadi lebih penting dan lebih
berkuasa. Itu dapat dia mengerti.
Dari kegagalan cuti Eropannya dia
lebih mengenal lagi tata susun kekuasaan kolonial. Kekuasaan ini didukung oleh
sekelompok kecil manusia kolonial putih yang pada gilirannya didukung oleh
manusia kolonial coklat dalam kelompok yang berganda lebih besar. Dari atas ke
bawah yang ada adalah larangan, penindasan, perintah, semprotan, hinaan. Dari
bawah ke atas yang ada adalah penjilatan, kepatuhan dan perhambaan.
“Mudah untuk menebak siapa-siapa
sajayang di maksudkan oleh sepku” gumam Pangemanann dalam hati. Mereka adalah
Marko Kartodikromo dan Sandiman. Sandiman memang tokoh misterius. Ia telah
hilang dari peredaran. Tak ada yang mengetahui dimana ia berada. Tentang Marko
lain lagi. Makin lama ia makin merasa tidak berada dalam baying-bayang
kekuasaan Pangemanann. Makin lama ia makin berani tampil didepan umum.
Ketika masih berada di bawah ketiak
gurunya, ia adalah seorang Marko. Setelah gurunya pergi mendadak ia mengubahnya
menjadi Marco. Rupa-rupanya kepergian gurunya menyebabkan ia merasa kehilangan
kekuatan.
Dan dennagn gan c. ia mencoba
mengerti dan mengikuti arus jaman yang semakin santar mendatangi. Dan
belakangan ini dia mencoba mengikuti jejak gurunya dengan muncul nama
lengkapnya: Mas Marco Kartodikromo.
Dalam tulisannya yang dianggap
penting, dapat diketahui apa sesungguhnya yang selama ini hidup dalam
sanubarinya. Tulisan itu sedikit banyak menceritakan tentang perjalanan
hidupnya.
Pengaruh Eropa sebagai masalah
memang menarik. Pada suatu kali Pangemanann membikin sebuah studi khusus. Bukan
sebagai pejabat, bukan sebagai tugas kantor. Tuan Besar Gubernur Jenderal telah
melayangkan surat
pada Dewan Hindia menanyakan pendapat Dewan tentang untung rugi pengajaran
Eropa pada Pribumi. Dewan belum menjawab, tetapi suara pro dan kontra sudah
mulai terdengar di setiap kota
besar.
Pitung Modern tidak pernah
mengumumkan tulisan Mas Marco Kartoikromo ini. Pangemanann pernah melihat
adanya dua alas an. Pertama: tulisan itu belum waktunya untuk masa ini. Kedua:
Minke yang terkenal risi oleh sanjungan dan pujian itu tak bakal menaburi
dadanya dengan sanjungan dan pujian baru.
Surat
yang dilayangkan Tuan Pangemanann pada sekolah H.B.S. Surabaya mendapat jawaban
kurang menyenangka: dalam limabelas tahun ini tak ada tersisa guu dari akhi
abad yang lalu.dalam pada itu kertas-kertas yang telah beumur lebih dari lima tahun telah di
binasakan. Mungkin pada Departemen O & E masih bisa didapatkan keterangan.
pangemanann
perlukan datang ke sekretaris Departemen O & E, barangkali masih ada
sisi-sisa keterangan tntang Raden Mas Minke. Jawaban yang dia peroleh kurang
menyenagkan.
Menurut naskah Minke disebutkan
semasa kecil ia tinggal di Tuban dan bersekolah pada E.L.S. dalam daftar E.L.S.
seluruh Hindia Belanda dia dapatkan, bahwa belum pernah ada sekolah itu di
Tuban sampai sekarang. E.L.S. hanya ada di kota tetangga Tuban: Jepara, Rembang, dan
Jombang.
Dalam ketiga karangannya: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah.
Minke rupanya tidak mempersonifikasi diri sendiri sebagai pengarangnya, tetapi
terutama sebagai saksi intelektual atas kejadian-kejadian pada masanya, dan di
dapat juga keterangan kalau ia adalah salah seorang anak Bupati Bojonegoro.
Bupati ayahnya itu kemudian dipindahkan ke Blora. Tahun ini dia telah
mendirikan sekolah gadis Darmo Rini,
artnya Kewajiban Wanita. Barangkali untuk mengenangkan putranya yang dalam
pembuangan. Mungkin juga untuk menghormati putrid menantunya yang gagah berani,
dan yang kini tak ada lagi kabar beritanya.
Pada awal tahun 1915 Pangemanann
berada dalam perjalanan ke Surabaya,
untuk mendapatkan beberapa keterangan dari keluarga dekat Pitung Modern. Dan
sekaligus mempelajari permunculan tokoh baru yang mengherankan: Siti Soendari,
seorang perawan.
Di Surabaya seorang pejabat
Gubernuran menjemput Pangemanann dengan mobil Gubernur Jawa timur. Gubernur
menghendaki dia tidak menginap di hotel, tetapi di Gubernuran. Ia sendiri belum
ada di rumah waktu Pangemanann sampai. Istrinya menyambut dia dengan sangat
ramah. Setelah lumayan lama mereka mengobrol dan hari semakin malam juga,
ternyat Gubernur sedang datang.
Begitu tiba gubernur segera mencari
Pangemanann, mengulurkan tangan dengan ramahnya. Ia duduk disampingnya dan
bercerita banyak tentang kejadian-kejadian menarik dalam sehari tadi.
Dengan bekal dari Tuan Gubernur dia
akan interpiu Mas Tjokro. Dikantor Gubernuran keesokan harinya dia mengunjungi
Tuan Gubernur sebagai adapt kesopanan. Pada kesempatan ini dia mengajukan
permohonan agar selama beberapa hari ini disediakan untuknya majalah dan koran
Hindia, berbahasa Melayu atau Belanda, yang memuat tulisan dari seorang yang
menamakan diri Siti Soendari.
D ihotel dia bacai koran dan majalah
terbitan sebulan, khusus untuk mempelajari tulisan Siti Soendari. Dari tumpukan
kertas tebal itu dia mendapatkan empat buah tulisandalam Belanda dan Melayu. Baik
dalam Belanda dan Melayu gayabahasa dan ungkapan-ungkapa,
perbandingan-perbandingan yang dipergunakan terlalu halus untuk tidak
menduganya tulisan seorang wanita. Ia dapat menyatakan pikirannya dengan baik,
tak punya kecenderungan untuk menyerang sebagai kemewaha. Perbandingannya
terpelajar sekalipun agak terbatas. Semangatnya tinggi tapi terkendali, ia
mempunyai gaya
berpikir Aristokrat yang berkebudayaan. Dari tulisannya itu pula nampak ia
seorang yang bersih dan tahu apa yang dikehendakinya. Dan dalam
kebersihannyaada sesuatu yang member: Kebenciannya pada kolonialisme.
Interpiu dengan Mas Tjokro ternyata gagal. Pada waktu itu Pangemanann
tiba dirumahnya___tanpa perjanjian tertentu___ia sedang berada dalam perjalanan
dengan mobil barunya ke luar Kota,
ke jurusan selatan. Orang bilang ia pergik ke Pacita, daerah Islam fanatic,
dimana belum pernah ada gereja didirikan disana.
Dengan kekuasaan sekretaris Gubernur
Pangemanann menerima surat kilat dari Semarang, yang memberikan
penjelasan begini:
Pemunculan baru dengan nama Siti
Soendari diduga adalah seorang lulusan H.B.S. Semarang beberapa tahun yang lalu. Sudah
sejak di H.B.S. dia memperlihatkan bakat dan kesukaan menulis. Surat yang selanjutnya
menjelaskan, bahwa keterangan yang agak lengkap mungkin baru bisa didapatkan
dalm seminggu yang akan datang.
Dari Surabaya Pangemanann pergi ke Malang untuk melihat sendiri persiapan peninjauan Tuan Besar Gubernur Jenderal dalam
rangka peresmian Malang jadi kota peristirahatan untuk Angkatan Laut
Hindia Belanda. Di kota
ini pula aku terima kawat, bahwa Mas Tjokro masih ada di Pacitan dan ia telah
membuka tablig umum. Nampaknya ia akan tinggal agak lama di sana.
Dari Malang dengan mobil Residen dia
meneruskan perjalanan ke Madiun. Kota ini sedang
tumbuh menjadi kota
industri rumahtangga. Keanggotaan Syarikat selalu menaik di sini, tak pernah
mengalami turun. Dia tidak menginap di hotel. Tuan Bupati seorang terpelajar
menempatkan dia di pesanggrahannya diluar kota.
Dan penduduk disana sedang keranjingan berorganisasi.
Pangemanann
kembali memasuki kantornya keadaan sudah berubah. Dalam keadaan senyap mencekam
ini tiba-tiba perhatian orang menggeragap bangun dan meloncat. Dari sebuah
koran Semarang diumumkan surat pembaca:
“belum lagi orang lupa pada pesta
besar-besran seratus tahun Nederland bebas dari
Prancis, sekarang Nederland
telah terancam lagi dalam Bhatarayuda modern. Berpihak pada siapakaj Nederland? Mampukah dia
kelur sebagai pemenan? Setelah seratus tahun lamanya tak pernah punya ketahanan
milite, kecuali terhadap bangsa-bangsa jajahanny? Akan jatuhkh Hindia ketangan Jerman? Dan
seratus tahun kemudian merayakan lagi secara besar-besaran Nederland bebas dari Jerman? Kalau dalm pesta
besar yang lalu dibuang Duwager, Wardi dan Tjipt, siapa-siapa akan dibuang
seratus tahun mendatang?”
Perdebatan-perdebatan dikantor
Pangemanann semakin ramai. Masih tetap berkisar pada surat terbuka yang nereka rasakan sengit itu.
Perdebatan-perdebatan menjalar kemana-man, sampai-sampai di kantor
administratur perkebunan di gunung-gunung. Dan ternyata lolos juga desas-desus,
bahwa penulis surat
terbuka yang sengit itu seorang wanita Pribumu bernama Siti Soendari. “Sementara itu semakin lengkap bahan di
atas meja tulisku yang membenarkan dugaanku, bahwa demam organisasi semakin
meluap. Terutama keterngan-keterangan tentang Siti Soendari.” Gumam Tuan
Pangemanann dala hati.
Siti Soendari benar lulusan H.B.S.
Semarang. Ia kelahiran Pemalang. Ia seorang aktivis Jong Java dan selau duduk
dalam pimpinan. Ia berasal dari kelurga terpelajar. Ayahnya seorang jebolan
STOVIA dan menjabat kepala Pegadaian Negri Pemalang, di samping juga seorang
tuan tanah yang berhasil. Dan ayahn Soendari mempunyai seorang anak lelaki,
abang Soendari. Setelah lulus H.B.S. ia dikirim ke Nederland
untuk meneruskan ke H.B.S. lima
tahun. Kemudian meneruskan sekolhnya pada Hoge Handelsscool di Rotterdam. Semua
atas biaya keluarga.
Pelarian-pelarian
politik dari Nederland,
Sneevlietdan Baars itu semakin giat di JawaTimur. Khususnya di Surabaya. Mereka
membuka pidato dimana-mana. Lain dari pertentangan intern di Nederland ke
Hindia, mereka anggap diri seakan-akan jago-jago tanpa lawan, seakan-akan
Hindia Negrinya sendiri yang dipayungi oleh hokum dan demokratis, beruntung
mereka hanya bergerak di kalangan orang-orang yang berbahasa Beland, yang
menduduki tempat sosial yang rendah dan
hidup dalam ke masygulan.
Yang mengherankan adalah bahwa
mereka bukan saja terlalu berani, brandalan dan nekad, tapi juga mendapatkan
pendengar. Dan pendengar mereka semakin banyak. Tanpa menghendaki badan hokum
mereka telah mendirikan organisasi. Mungkin sudah jadi kesengajaan mereka untuk
meremrhkan hokum Hindia, mereka telah memasyhurkan kedudukan pusat
organisasinya di Surabaya.
“sekalipun mereka orang Eropa dan
bukan jadi urusanku, tapi mau tak mau terlibat dalam urusanku juga.” Gumam
Pangemanann dalam hati. Mereka memilih surabaya
sebagai pusat kegiatan, karena Surabaya
adalah markas besar Syarikat islam.
Direkturnya melaporkan, bahwa
setengah tahun pertama memang terdapat kenaikan yang menyolok. “Nah, Tuan
Pangemanann, apa jawaban Tuan?” Tanya Direkturnya.
“kanaikan itu disebabkan karena
adanya kegiatan baru yang semula tidak dikenal Hindia. Dalam setiap kegiatan
sosial selamanya ad kejahatan yang membonceng. Maka kalau angka kejahatan naik,
buaknlah semata-mata karena semakin banyaknya Organisasi, tetapi semakin
banyaknya kesempatan bagi para pejabat untuk membonceng. Kepolisian bukan
seharusnya ditambah kekuatannya atau menambah macam urusan. Pengalaman yang
justru akan meningkatkan keahlian mereka. Sekolah kepolisian rasanya lebih
tepat sebagai jawaban terhadap perkembangan baru ini.
Pemunculan Marco di Sala dinilai
Pangemanann sebagai suatu keajaiban. Justru karena ia lulusan sekolah desa,
sekarang anak-anak lulusan sekolah desa mengikuti jejaknya. Mereka pada
bermunculan didepan umum dan juga siap-siap masuk kepenjara untuk juga menjadi
pahlawan, kapan saja dan dimana saja.
Kaum terpelajar Pribumi suka
menertawakan dan mengejek ketidak-tahuan mereka. Kaum terpelajar Indo dan Eropa
mencibir. Tapi dua-dua golongan itu
lupa, bahwa semua itu hanya satu proses peng-eropa-an cara berpikir.
Istilah –istilah baru adalah benda-benda peradaban baru yang tak pernah ada di
desa mereka masing-masing. Mereka lupa, bahwa setiap istilah yang dipunguti
sepanjang jalan kehidupan tak lain artinya dari pada semakin padat kepala orang
dengan konsep-konsep baru dan bahwa langkahnya menjadi semakin jauh dari
kampong halamannya sendiri.
Siti Soendari mempunyai perkembangan
yang lain lagi. Dalam salah sebuah laporan tentangnya disebutkan lebih kurang
begini:
Ia selalu berpakaian rapi, berkain
dan berkebaya, berselop beledu hitam, yang disulam berbunga-bunga. Kainnya
terpasang sampai mata kaki, datar, tak ada bagian lebih rendah atau lebih
tinggia. Sanggulnya di hias dengan tusuk sanggul dari tanduk, dihiasi dengan
keris kecil dan perak. Kebayanya selalu dari kain katun bikinan Nederland. Sebagaimana
patutnya wanita Jawa, ia selalu mengenakan perhiasan dari emas yang termasuk
mahal. Bahkan anting-antingnya dari berlian biru. Ia bersolek, baik di dalam
maupun diluar rumah. Sedang tingkah-lakunya selalu sopan santun dan lemah
lembut.
Para
wanita dari golongan Priyayi mempunyai pendapat lain: Siti Soendari adalah
seoarng Perawan yang salah-tingkah, tak tahu kewajarannya, seoarng Belanda
dalam pakaian Jawa, seorang perawan tua yang buinggung mencari jodoh. Mereka
tak sudi bergaul dengannya, kuatir kalau-kalau perawan itu merampas suami
mereka. Beberapa orang terpelajar menganggapnya sebagai perempuan yang ditakuti
lelaki. Siapa lelaki yang mau memperistri seorang gadis dengan pendidikan
setinggi itu? Sedang kegiatannya yang hebat itu tak lain dari pada usaha untuk
memburu suami berpangkat? Terpelajar lain lagi membantah, tidak mungkin, orang
berpangkat tak didapatkan diantara oarng-orang pergerakan.
Dari laporan selanjutnya Pangemanann
menyimpulkan begini:
Ia mengajar pada sekolah dasar
berbahasa Belanda, Boedi Moeljo. Seminggu sekali anak-anak dari kelas tertinggi
ia bawah kesawah atau lading, dan disana ia habiskan mata pelajaran berbahasa
belanda. Dengan jalan seperti itu murid-murid menjadi gairah mempelajari
Belanda, dan menjadi lebih dekat padanya.
Apakah pernah ada hubungan antara
Minke dengan Siti Soendari? Tentu saja. Dari banyak laporan dari Jawa Tengah,
terdapat tulisan ynag menyebutkan, bahwa:
Pada bulan Maret 1912 Tuan R.M.
Minke datang pada teman sekolahnya, ayah Siti Soendari di Malang
Pada
bulan Juli 1912 Pitung Modern mengkahiri turnenyake seluruh Jawa untuk
memberikan penerangan intern kepada para pemimpin cabang Syarikat, akan
maksudnya hendak melebarkan sayap Syarikat ke luar Hindia. Ia memprogandakan
persatuan untuk seluruh bangsa-bangsa berbahasa Melayu di Singapura, Malaya, Borneo, Siam,
Filipina, dan kalau mungkin juga Sailan dan Afrika Selatan. Dengan pengalamanya
selama enam tahun di Jawa, boleh jadi ia akan berhasil, bila Gubermen tidak
segera membuangnya.
Organisasi-organisasi yang berwatak
etnis semakin banyak: putra Bagelan, rencong aceh, Rukun Minahasa, Mufakat
minang, pertalian Banjar. Demam organisasi semakin meninggi. Dan semua ini
akibat munculnya hanya seorang saja di panggung percaturan Hindia: Raden Mas
Minke pada 1906.
Pangemanann membuat dua macam
klasifikasi organisasi. Yang pertama adalah yang berdasar ke-Hindi-an, yang
kedua berwatak etnis. Dengan seakan-akan menghadapi banyak tantangan. Maka
dengan jalan-jalan yang tersedia dianjur-anjurkan kepada para pegawai Gubermen
untuk menyokong organisasi-organisasi etnis, menyokong persaingan mereka antara
sejenisnya. Dengan demikian organisasi macam pertama sulit berkembang.
Bagaimanapun Nasionalisme Hindia akan lebih berbahaya dari nasionalisme etnis.
Nasionalisme yang pertama mempersatukan, yang kedua bertentangan satu dengan
yang lain.
Gubernur Jawa Tengah telah memberikan
Isyarat pada asisten Residen Pekalongan, agar ayah Soendari Sudi mengendalikan
putrinya. Baik Gubernur maupun Residen bersepakat dengan rumusan Pangemanann,
merasa malu menagkap seorang gadis remaja hanya
karena si gadis jelita itu punya keyakinan dan pendapat yang berlainan
dari keinginan Gubermen. Kalau dia seorang lelaki, lain halnya.
Residen telah memerintahkan pada
bupati Pemalang agar melaksanakan paksaan halus pada orang tua si gadis agar
segera mengawinkan putrinya. Prosedur ini telah
dilaksanakan dua belas tahun yang lalu terhadap si Gadis Jepara dengan
berhasil. Bupati Pemalang telah memanggil orang tua celaka itu dan
mengharuskannya mimilih antara dua: kehilangan jabatan atau pensiun tanpa
hormat dan kehilangan putinya atau membahagiakan putrinya dengan suatu
perkawinan yang terhormat, dengan tetap mengukuhi jabatan dan pensiun
dikemudian hari. Bila sang ayah tidak atau belum punya calon menantu, Gubernur
bisa menyediakan daftar putra-putra bupati atau calon-calon dokter lulusan
STOVIA. Dan bila sang ayah memilih yang pertama, ada kemungkinan anak lelakinya akan dikeluarkan dari Sekolah
Perdagangan Tinggi di Rotterdam.
Dengan tangan menggigil orang tua
itu mengangkat sembah pada sang Bupati, Minta waktu barang dua bulan, dan
buru-buru pulang. Ia minta perlop.
Dengan membawa sebuah koper kecil
dan taksi sewaan, berangkatlah ia ke Pacitan. Untuk mencari gadisnya, ternyata
dialamat yang ditujunya ayah tersebut tidak menemukan sang gadisnya. Setelah
beberapa hari disana ternyata ayah itu menemukan gadisnya tersebut di gedung
wayang kemudian gadis berwajah sirih itu berpidato di depan mimbar dengan di
pandang mata seluruh hadirin. Dan gadis itu menunduk takzim, memberi hormat
pada hadirin. Tepuk tangan dan seruan Hidup
Juffrouw Soendari berderai seakan tiada kan habis habisnya, mengiringinya turun dari
podium.
Mata jeli gadis itu segera dapat
menangkap ayahnya. “ayah!” bisik Soendari, dan meneruskan dalam Jawa, “Betapa
bahagia bahagia sahaya melihat ayahanda sudi saksikan pidato sahaya.”
Seorang pembicara menutup acara dan
hadirin bergerak bubar untuk mengelilingi Soendari dan Ayahnya.
“Hidup
Juffrouw Sundari.” Orang memekik.
“Hidup! Hidup!”
Orang
mengiringkan Soendari ke dokar, dan seperti mabok orang-orang menganagkatnya
tinggi dan manaikkanya ke atas dokar itu juga. Iring-iringan yang riuh
bersorak-sorai sepanjang jalan, berjalan perlahan-lahan menuju ke markas
V.S.T.P. Pelataran kantor yang sempit itu penuh sesak dengan orang. Suasana
gembira meliputi hati dan suasana. Hanya ayah Soendari bermandi keringat
dingin.
Malam itu juga pengurus V.S.T.P.
menyediakan taksi untuk Soendari dan ayahnya yang akan pulang ke Pemalang atas
desakan sang ayah, dengan alasan ada terjadi sesuatu dalam keluarga…
Mereka datang di Pemalang pada malam
itu juga. Pada pagi harinya sebelum sang ayah menghadap Tuan Bupati, ia
berpesan pada putrinya agar jangan pergi-pergi dan menunggu sampai ia pulang.
Berangkatlah sang ayah menghadap
Bupati untuk melapor dan mita nasehat bagaimana dan apa harus dibicarakan
dengan putrinya sesuai dengan kehendak Gubermen.
Ia di persilahkan menghadap.
Kebetulan Tuan kontrolir ada pula disana. Dengan rikuh ia melaporkan semua yang
terjadi dan tanpa mencampuri kontrolir membikin catatan-catatan. Baru setelah
laporan selesai tiba-tiba ia bertanya,”Baik. Aku mau dengarkan sendiri
ucapan-ucapan Soendari tentang dirinya sendiri dan pekerjaanya.”
Maka dibutlah rencana yang takkan
diketahui oleh Soendari, bahwa ada orang lain ikut mendengarkan.
Sore itu Soendari di ajak oleh
ayahnya berkunjung pada seseorang. Dan gadis itu tak tahu ada Tuan kontrolir
mendengarkan dari balik dinding.
Begitu ia dipersilahkan duduk segera
ibu rumah menegur dalam Jawa, kemudian mereka bercakap-cakap sampai Asisten
residen Pekalongan merasa puas dengan percakapan itu.
Ia nenilainya sebagai langkah
pertama yang baik. Bagaimanapun seorang gadis Pribumi akan selesai segala
ulahnya bila telah menaiki ranjang pengantin. Tetapi Residen Jawa Tengah
menganggapnya tidak bernilai, hanya omongan kampungan seorang Mak Comblang
dengan calon kurbannya,
Nyatanya tulisan Soendari semakin
banyak, sekalipun tidak tampil dihadapan umum. Kantor pos telah mendapat
instruksi untk mengawasi surat-suratnya. Ternyata tak pernah ia mengirimkan surat lewat pos.
Dalam pemingitan di Pemalang
tulisan-tulisannya yang Pangemanann bawah semakin berbobot, semua dalam Melayu
sekolah. Sekalipun ia tak mencantunkan nama pada setiap tulisan, gaya bahasanya tak ada
duanya.
Sang ayah itu sekarang terjepit tak
dapat berlawanan antara dua kekuatan: Kekuasaan tak terbatas Gubermen dan kasih
sayang pada putrinya.
Pada suatu hari, pagi-pagi sang ayah
diam-diam melihat Soendari menerima sepucuk telegram dari seorang tetangga.
Sebagai orang yang berpendidikan Eropa ia tak ada keinginan untuk mengetahui isi
kertas itu. Tak boleh ia mempunyai sesuatu kecurigaan. Pergilah ia
melihat0lihat sawah. Sepulangnya ia tak lagi melihat putrinya. Pada malamnya
pun tidak.
Sekali lagi ia menyewa taksi dan
menuju ke Semarang.
Memasuki Semarang taksi ditahan oleh Polisi dan dibawa kekantor. Seorang
komisaris polisi totok Eropa, berkulit merah menyilakan ia duduk, langsung
memperingatkan,”Cobalah Tuan halangi putrid Tuan pada malam ini. Kami sudah
cukup mendapat kesulitan karena dia. Kalau lebih banyak perempuan mengikuti contohnya…..”
Sang ayah tak tahu apa harus ia
jawabkan. Sang ayah meneruskan pencarian anak gadisnya dengan berjalan kaki.
Dan hampir jam dua belas malam kala ia memasuki gedung wayang orang itu. Dia ia
masih mendengar putrinya sedang bicara di atas mimbar.
Begitu keluar dari gedung, sang ayah
segera menyambutnya,”Cepat, Ndari,” katanya,”Mereka akan tangkap kau,” ia seret
terus putrinya masuk kedalam kegelapan.
Tak ada yang tahu kemana mereka
pergi. Mantri Polisi yang ditugaskan mengawasi Soendari telah kehilangan jejak.
Sepuluh
hari setelah peristiwa gedung wayang-orang di Semarang, Marco, anak rohani Raden Mas Minke
yang lain, keluar dari penjara Sala. Beberapa puluh orang menyambutnya dengan
sorak-sorai di depan pintu penjara. Ia di panggul diatas pundak mereka,
dimasuukan kedalam mobil dan dibawah entah ke mana.
Keesokan harinya nampak ia sudah
berkeliaran di Semarang.
Kemudian ia sudah tak keliatan lagi, dan dilaporkan ia nampak di Pacitan.
Ia hilang lagi dari pengamatan untuk
kemudian muncul lagi di Pemalang. Jelas ia mencari Soendari. Di Pemalang nampak
ia berpakaian jas tutup putih bersih, bercelana putih dan bersepatu hitam
mengkilap. Dalam pakaian itu ia pernah kelihatan berkunjung kerumah ayah
Soendari. Dan tak pernah ada yang tahu apa yang mereka bicarakan.
Beberapa hari setelah itu
diberitahukan bahwa pada jam sepuluh malam ada kemungkinan Marco akan sampai di
stasun Gambir, Betawi dengan naik kereta barang.
Selama ini Soendari masih tetap
menunggu kedatangan Pitung Modern pulang dari pembuangan. Juga sekarang ini,
sekalipun jejaknya tidak ditemukan. Ia seakan-akan meruap hilang ke langit
hijau. Yang jelas ia sedang
menyembunyikan diri dengan perbekalan uang simpanan ayahnya. Dan melihat, bahwa
Marco akhirnya masuk ke Betawi, boleh jadi gadis ini ada di ibukota Hindia
juga.
Benarkah Soendari ada di Betawi ?
Jawaban itu baru Pangemanann dapat
empat bulan kemudian. Gadis ini sudah ada di Rotterdam,
Nederland.
Beberapa bulan setelah itu datang laporan: juga Marco ada di Rotterdam,
Nederland.
Tiga orang yang berpautan dengan
Raden Mas Minke telah berkampung di negeri yang sama: Wardi, Soendari dan
Marco. Dan Pitung Modern, bapak rohani mereka, masih tetap dalam pembuangan di
Ambon.dan perkembangan di Hindia jalan terus, melupakan mereka yang ada di
luarnya.
Boedi Moeljo sebagai pendiri
sekolah-sekolah dasar dengan nama yang sama, katanya adalah sebuah organisasi
orang-orang Jawa tapi justru tidak memasukkan bahasa Jawa daalm kurikulumnya.
Sebaliknya sejak kelas satu sampai tujuh murid-muridnya diajar menggunakan
bahasa Belanda, sebagaimana perilaku pada H.I.S., E.L.S. dan H.C.S. Gubermen
telah membangun H.C.S. untuk anak-anak Tionghoa. Tapi apakah apakah yang telah
dilakukan nya untuk Pribumi? Tak ada! Padahal itulah justru menjadi kewajiban Gubermen
untuk mendirikannya. Tetapi mengapa sejak 1909 yang membangunkan sekolah dasar gaya Eropa untuk Pribumi
justru Boedi Moeljo? Mengapa Boedi Moeljo mengambil alih kewajiban yang
sebenarnya harus dilakukan oleh Gubermen?
Gubermen dengan serta merta menghargai
prakarsa Boedi Moeljo. Yang akhir ini menjadi kepala besar karena mendapatkan
perhatian Gubermen. Itulah gunanya Boedi Moeljo didirikan yang katanya menuntut
bangsa? Apakah Boedi Moeljo sudah siap sedia menjadi sebuah sub-departemen
Hindia Belanda? Bukankah dia mengerti, bahwa lulusannya kelak akan diserap oleh
Gubermen dan menjadi pegawai-pegawainya? Satu-dua tahun lagi kalau mereka mulai
lulus, mari kita saksikan bagaimana mereka akan berbaris untuk mendapat jabatan
negeri.
Boedi Moeljo semakin besar kepala
karena Gubermen merasa malu terhadap apa yang telah dicapai dan dilakukannya.
Lima tahun setelah ia mendirikan sekolah, barulah Gubermen pada 1914 mendirikan
H.I.S. Dan tujuh tahun mendatang, bila sekolah-sekolah H.I.S. ini sudah memulai
memuntahkan lulusannya kedalam masyarakat, lulusan Boedi Moeljo akan kembang
kempis mencari pekerjaan negeri, dimana bahasa Belanda di butuhkan.
Nampaknya anggapan bahwa Sneevliet
dan teman-temannya hanya golongan radikal hanya golongan radikal ekstrem sudah harus
digantikan dengan perhatian yang lebih bersungguh-sungguh dan berhati-hati.
Dari pidatonya, yang terakhir semakin jadi jelas, bahwa ada semacam logika baru
yang didatangkan dari Eropa, yang selama ini kurang dikenal. Sedang logika baru
itulah yang mengesankan mereka sebagai orang-orang ekstrim. Logika baru ini
sepatutnya dipelajari dahulu.
Hanya sayang sekali serangan itu
diucapkan didepan umum. Semestinya dan secepatnya di hadapan siding para
Edeleer Dewan Hindia, dan tertutup. Cara yang ditempuh oleh Snevleet dan
teman-temannya akan mengagetkan masyarakat dan mengecilkan hati Boedi Moeljo.
Kemudian Pangemanann mendapat
tambahan pekerjaan dari sepnya. Ternyata pekerjaan tambahan itu tak semudah
yang ia duga semula. Lama juga ia terpaksa memikirkannya. Dokumen-dokumen yang
ada ia pelajari kembali. Akhirnya tak lain ia harus membenarkan kata-kata
sepnya. Bari
kemudian ia menulis lagi, bahwa: Gubermen seyoggianya menyesalkan terjadinya
serangan atas Boedi Moeljo sekalipun tak perlu mengucapkannya dengan kata-kata.
Departemen O & E yang setiap tahun mengeluarkan subsidi untuk Boedi Moeljo,
dan sampai sejauh itu tetap berdiam diri, sebaiknya melakukan pendekatan
padanya. Terkena serangan seperti itu hebatnya membuat Boedi Moeljo seperti
seorang anak kecil tertinggal seorang diri di tengah-tengah sawah. Tak ada yang
mendengarkan tangisnya. Maka siapapun ynag datang padanya dan memberikan
simpatinya, pada waktu itu akan dianggapnya lebih dari emaknya sendiri. Saat
yang tepat telah tiba bagi Gubermen untuk mendekati si bocah itu.
Jalan yang paling baik bagi Gubermen
adalah memanggil pimpinan Boedi Moeljo
Betawi untuk menghadap Kepala Departemen O & e, dengan catatan bahwa
orang-orang yang terpanggil sebaiknya yang aktif mengajar, karena
setidak-tidaknya mereka dapat menggunakan Bahasa Belanda dengan baik, dan
dengan demikian tidak memalukan dan mengecewakan kedua belah pihak.
Tidak lebih dari dua hari kemudian
pimpinan Boedi Moeljo diterima oleh Direktur O & E dirumahnya. Tamu-tamu
itu memperlihatkan diri sebagai priyayi-priyayi Jawa yang patuh dan tunduk pada
atasannya, mereka tidak pernah memulai sesuatu pokok, dan tetap menunggu,
menanggapi dan menjawabi.
Kepala Departemeen itu mulai
menawarkan kesempatan yang sekiranya para tamu mempunyai sesuatu untuk ditanyakan
dan kesulitan-kesulitan apakah yang ada pada Boedi Moeljo ynag mungkin Gubernur
bisa Bantu.
Mereka rupa-rupanya tak mempunyai
persiapan pikiran. Undangan itu saja sudah merupakan sensasi yang
melupa-daratkan. Begitu kesempatan tiba untuk mengajukan sesuatu, nampak mereka
kalang kabut. Ada
yang memohon agar Gubermen menyediakan
tempat sepatutnya di sekolah-sekolah guru untuk lulusan Boedi Moeljo. Ada yang minta agar
Gubermen memberikan tuntutan kearah kemungkianan Boedi Moeljo dapat mendirikan
sekolah lanjutan sendiri, sekolah guru sendiri.
Kepala Departemen O & E tak
menjanjikan sesuatu karena mereka memang tidak mengajukan
kesulitan-kesulitannya. Direktur Departemen itu sendiri nampaknya belum
terbiasa melayani Pribumi. Ia belum juga dapat menyembunyikan keangkuhannya.
Pad waktu itu ia hendak bangkit untuk menyatakan pertemuan selesai, seorang
anggota pimpinan Boedi Moeljo mengajukan soal, apakah belum tiba saatnya bagi
Gubernur untuk memperbanyak atau menambah perwakilan Boedi Moeljo dalam Dewan-Dewan
kabupaten.
Direktur O & E telah
meninggalkan kursinya. Waktu yang disediakan telah habis. Dan ia cukup
bijaksana untuk tidak melayani soal yang diajukan itu, karena itu adalah
wewenang Direktur Departemen Dalam Negeri.
Masa jabatan Gubernur Jenderal
Idenburg telah selesai. Berita yang tadinya begitu santer ia akan menjabat
untuk kedua kalinya seperti Gubernur Jenderal Van der Capellen, berhubung
perang Dunia, terbantah oleh kenyataan. Ia tetap akan diganti.
Kemudian datang juga penggantinya:
Van Limbung Stirum.
Upacara sera terima sangat sederhana
sesuai dengan keprihatinan umum. Juga sesuai dengan keprihatinan Gubermen
Hindia Belanda sendiri. Jawa mulai bergolak. Belot kerja menggelumbang
dimana-mana. Dalam setiap sector kerja produksi dan jasa bermunculan
pribadi-pribadi yang mengajarkan, bahwa tenaga manusialah yang terpenting,
bukan mesin bukan pula uang, maka tenaga manusia harus dig anti dengan upah
yang layak. Belot kerja yang menggelembung itu menuntut dilayakannya upah.
Gubermen menghadapi banyak kesulitan dengan semakin merosotnya penghasilan
negeri karenanya.
Keberangkatan Idenburg juga tidak
meriah seperti halnya pada peristiwa-peristiwa sebelumnya.
Majalah-majalah terbit seperti
cendawan. Di Sala, Semarang
dan Yogya. Di setiap tempat itu lebih banyak daripada di Surabaya, jugadari pada Betawi sendiri.
Majalah-majalah juga keluar di kota-kota kecil, tidk tercetak, tapi dengan
stensial. Semua membawakan pikiran beaneka ragam, berbentrokan satu dengan yang
lai, yang memadukan cara berpikir Eropa dengan yang tradisional, sejauh
majalah-majalah itu berbahasa Melayu pasaran. Dan terhadap Gubermen, pada
umumnya sikapnya sama saja: tidak menyukai.
Dalam setiap penerbitan hamper
selalu ada serangan terhadap yang lain,dan jawaban atas serangan. Mengherankan,
bahwa dalam semua terbitan itu tak pernah Pangemanann dapati percekcokan
tentang agama. Percekcokan pokok adalah tentang makna Tanah air dan
penghidupan.
Untuk pertama kali muncul masalah
nasionalisme dan internasionalisme dalam alam pikiran Pribumi, sekalipun orang
tidak menggunakan istilah-istilah itu. Dan semua itu adalah juga gema
pertentangan di Eropa sana.
Di Jawa Timur dan Tengah orang
memekik-mekik menuntut kenaikan upah sambil belot kerja alias staking.
Pegawai–pegawai pegadaian di beberapa tempat menolak memasuki tempat kerjanya
dan kumpuk-kumpuk di pelataran, berbaur dengan orang-orang yang hendak
menggadaikan. Buruh beberapa perkebunan kemudian mengikuti.
Dari semua kegiatan Pribumi itu,
ternyata yang dianggap mahkota kegiatan adalah jurnalistik. Dan barang tentu
bukan jurnalistik sebagimana dikenal oleh Eropa, tapi menulis dikoran atau
majalah dengan nama terpampang, baik nama benar, nama pena atau inisial. Gejala
baru ini berasal dari Raden Mas Minke. Ia pernah pada salah seoarng temannya:
orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah. Ucapan lain dari si Gadis Jepara: menulis adalah bekerja untuk
keabadian. Dan jurnalistik gaya
Hindia merupakan perpaduan alamiah dari gerakan Pribumi untuk kepemimpinan dan
keabadian.
Pada hari-hari pertama dalam
jabatannya, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum nampaknya tak ada keinginan
untuk mengetahui semua itu. Staf Algemeene Secretarie menjadi tegang. Keadaan
diluar istana semakin bergejolak. Organisasi-organisasi pendukung Gubermen
kehilangan Inisaitif untuk berosensif terhadap mereka. Kami menduga, Tuan Besar
tidak mempunyai perhatian terhadap segala yang sedang berkecamuk. Bila demikian
halnya, mungkin Algemeene Secretarie harus mempunyai inisiatif yang lebih
banyak.
Seminggu lamanya Tuan Besar belum
juga meneemui umum. Dari jongos-jongos didapat berita, bahwa Gubernur Jenderal
dan istri masih sibuk menata prabot. Seminggu! Dan diluar sana para administratur perkebunan dan
perusahaan-perusahaan Eropa lainnya sudah pada gelisah. Mereka mengharapkan
kebijaksanaan baru yang tegas, dank eras terhadap perkembangan.
Sembilan hari setelah kedatangannya
baru baru Direktur Tuan Pabbgemanann mendapat pangilan. Tak lama kemudian Tuan
Besar datang kekantornya dalam iringannya berikut para ajudan. Ia melakukan
pemeriksaan ke semua ruang kerja. Ia kelihatan tidak begitu angker, banyak
senyum, kurang kata-kata. Pandang matanya tenang, tapi kepalanya yang agak
botak sering mengangguk, jarang menggeleng.
Dua jam setelah meninggalkan kantor
mulai terdengar: pemerintah Kerajaan sangat kuatir mengikuti perkembangan di
Hindia dan di Jawa khususnya. Kerbijaksanaan yang di bawanya serta adalah
mengikuti perkembangan baru yang ada, baik di Eropa maupun Hindia. Kegarangan
organisasi-organisasi Pribumi tidak akan dihadapi dengan penggagahan, karena
keadaan tidak boleh lebih memburuk dengan sikap kegagahan itu.
Dan itu berarti, bahwa
perusahaan-perusahaan besar Eropa akan berdatangan ke kantor Tuan Pengemanann
dalam waktu waktu dekat mendatang ini. Untuk menaklukkan Tuan Besar Gubernur
Jenderal Van Limburg Stirum.
Pekerjaan kendor pada hari-hari
belakangan ini. Pangemanann adalah laksana seekor laba-laba yang sedang
menunggu mangsa. Paling lama sebulan, dan pengusaha-pengusaha besar Eropa akan
datang keruangannya. Semua mereka akan bicara bermanis-manis, menawarkan ini
dan itu.
Dalam kekendoran pekerjaan dia
pergunakan untuk mempelajari naskah-naskah R.M.Minke. dinas-dinas malam tak ada
lagi. Waktu terbuka untuk berfoya dan berplesir.
Seorang agen polisi yang bernama
Sarimin datang kerumah Pangemanann dan memberitahukan kalau tamunya (Rientje De
Roo) tidak jadi datang karena dia sudah meninggal, lantas Pangemanann bergidik
mendengar berita itu, “dia meninggal dengan meninggalkan buku merah Tuan” kata
Sarimin. “Buku itu menyangkut nama Tuan juga”
Pangemanann
langsung maengambil kesimpulan kalau agen polisi ini datang kemari untuk
memeras dia karena namanya disebut-sebut dalam buku catatan Rientje De Rood dan
kalau sampai umum tau kekuasaan dan jabatannya akan hilang karena namany sudah
tercemar. Dan benar saja dugaannya Sarimin datang kerumah Pngemanann untuk
memeras dia, dan itu sudah cukup buat Pangemanann bingung kepayang.
Berita pers tentang drama Rientje De
Roo semakin tidak tertahankan. Setiap lembar kota Hindia, belanda, Melayu dan Melayu
Tionghoa, yang Pangemanann pungut dari meja kerjanya memampangkan nama Rientje.
Peristiwa pembunuhan itu, orang-orang yang tersangkut. Dan berita-berita itu
mancapai puncaknya waktu perkara itu di bawa ke pengadilan.
Berita-berita tentang pembunuhan
Rientje De Roo semakin jarang, kemudian padam.
Pangemanan kembali keruang kerjanya
dan dia mendapat setumpuk koran-koran Melayu dan tiga buah buku Si Pitung.
Pangemanann pulang sebelum tutup
kantor. Dan tak lain dari Tuminah juga yang menyongsong kedatagannya, dulu
penyongsong pertama selalu anjing Marque, si Ivy.
Di luar rumah dan kantor Pangemanann
gerakan yang hamper-hampir disamakan dengan yang terjadi menjelang Revolusi
Perancis, membara seakan-akan sedang mendapatkan titik letusnya. Tetapi
perbedaannya dengan Pra Revolusi Prancis, di Hindia ini tidak lahir pemikir
Pribumi, tidak ada konsep-konsep, tidak ada filsafat. Setelah kepergian Minke,
tak ada diantara pemuka-pemuka pribumi mencoba mendapatkan kontak dengan luar
negri.
Tuan besar Gubernur Jenderal Van
Limburg Stirum masih juga belum berbuat suatu. Dengan sepnya pangemanann telah
menyusun acara untu menyadarkan Tuan besar akan gawatnya keadaan. Tapi ia masih
tetap takjuga bangun dari ketak-acuhannya. Persengkokolan antara Pangemanann
dan sepnya telah menggerakan pihak kepolisian untuk bertindak terus
terhadapkaum nasionalis Pribumi ini. Tetapi pengadilan tak pernah dapat
bergerak sejajar dengan kekerasan kepolisian. Dengan kecewa mereka ketahui,
bahwa Tuan Besar telah memanggil Direktur Departemen Kehakiman, yang
memberikan pesan asli agar semua perkara
yang menyangkutbgerakan Pribumi tidak diperlakukan dengan kasar, tidak
dijatuhkan hukuman yang berlebih-lebihan, bahwa setiap perusak hraus di anggap
sebagai kejahatan biasa dan setiap dilik dihukum sesuai dengan ketentuan yang
ada.
Beberapa tahun yang lalu, Pribumu
bangsa-bangsa Hindia masih melawan kekuasaan Gubermen dengan senjata, dengan
patriotisme, dengan agama. Dan semua mereka kalah. Beberapa tahin belakangan
ini tak ada darah diteteskan baik disawah atau diladang. Gubermen yang mewakili
Eropa ini kini berhadapan dengan produk Eropa sendiri: nasionalisme bangkit dan
membludak. Dulu denagn senjata Pribumi melawan di desa-desa, sekarang dengan
nasionlaisme muncul di kota-kota dan diamana saja perusahaan Eropa berdiri.
Eropa yang berkapital kini menghadapi Pribumi yang tiadk berkapital tapi
bertenaga. Eropa yang berilmu dan berpengetahuan , guru peradaban baru, kini
berhadapan dengan Pribumi, murid-muridnya sendiri, yang lebih banyak punya
kemauan daripada ilmu pengetahuan___kemauan untuk menjadi bangsa baru. Dua
kepentingan sedang berhadapan, Eropa yang sedang kehilangan sandaran karena
Perang Dunia dan Pribumi yang sedang menemukan kelahirannya yang pertama. Dan
Pribumi ini tidak bersenjatakan pedang dan tombak, juga tidak dengan
patriotisme, juga tidak dengan agama,mereka bersenjatakan mulut dan pena
belaka.
Kira-kira Pagemaanann tidak keliru kalu
ia namai ini babak baru, baru bagi Pribumi, babak kelahiran pertama dengan
segala kekuranggannya dibidang ilmu dan pengetahuan. Juga lucu, pembentukan
nasion dengan mulut dan pena belak! Di Eropa pembentukan nasion selalu berjalan
dengan pedang dan darah.
Kerusuhan-kerusuhan terjadi
dimana-mana ada modal besar Eropa, barangkali lebih keras dari di Perancis
dalam menghadapi Louise XVI. Rupa-ruoanya mereka menggunakan kelemahan Gubermen
karena perang Dunia. Kerusuha yang Pangemanann kendalikan samasekali tidak ada.
Yang ada justru yang bukan dia
kendalikan, warisan tidak sah dari Raden Mas Minke.
Keadaan Hindia yang tidak menentu,
tangan Tuan Besar Jenderal Van Limbung Stirum yang tenang-tenang, seakan-akan
mnggerakkan jari-jarinya pun segan, membikin sep Pangemanann kehilangan
semangat kerja . hamper-hampir ia tak memberikan sesuatu perintah. Dalam
percakapan-percakapannya dengan Pangemanann semakin banyak dia tanggapi
kerinduannya pada Amerika___benua baru, atau benua kebebasan menurut
penamaannya, yang belum pernah dilihatnya dengan mata kepalanya itu.
Kembalilah Pangemanann pada
pekerjaan lamanya, membacai kertas-kertas. Dan untuk yang kesekian kalinya dia
mengerti, bahwa Syarikat, dalam keadaannya sampai sekarang , tak kan mencapai
sesuatu, karena memang sudah tak tahu apa yang dikehendakinya
sendiri.orang-orang hanya meneriakkan kehendak Gubermen, sekarang membisu
melihat Tuan besar yang belum juga memperlihatkan sikap. Insulinde sudah lumpu
sebelum berjalan. Organisasi-organisasi etnik hany sibuk membuktikan diri lebih
unggul dan lebih pongah daripada yang lain0lain jenisnya. Yang tersisa tinggal
dua hal, pertama slogan “berpemerintahan sendiri” yang dibisikkan oleh Idesche
Partij dan sekarang tak ada yang mengucapkannya lagi sekalipun dengan bisikan
lebih lemah, dan kedua kandungan Boedi Moeljo, yang isinya perluasan
keanggotaan dewan-dewan pemerintahan setempatdan pendirian sekolah-sekolah
lanjutan untuk Pribumi. Pekerjaan itu ia serahkan pada sepnya tanpa sesuatu
pertimbangan lebih jauh.
Tak lama setelah itu datang berita
yang berasal dari Tuan Besar, bahwa pemerintahan Kerajaan merasa kuatir
terhadap perkembangan Hindia akhir-akhir ini.
Pangemanann menjadi ragu-ragu apakah
semua ini akan bisa diatasi oleh Gubermen. Serdadu dan polis saja tak akan
mampu. dia tak tahu lagi guna pekerjaannya untuk mengatasi semua ini.
Dalam koran pagi sebuah berita yang
mendesak berita-berita lainnya: Tsar Nicolas dari Rusia terguling. Pers dunia
mengutuk para pengguling yang dituduh menguntungkan pihak Jerman, Karena pada
waktu itu Rusia mengerahkan balatentaranya ke medanperang Eropa.
Sekali lagi Pngemanann berhadapan
dengan logika baru, terasa dan terdengar gila, tapi telah menjadi kenyataan,
muncul mewujudkan diri dalam menggulingkan dan
tergulingkannya seseorang Tsar yang tak terganggu-gugat kekuasannya.
Betapa jauh akibat dari buah pikiran
ahli kolonial pada Algemeene Secretarie yang bernama Pangemanann yang lain,
suami dari istrinya yang bernama Madame Paulette Pangemanann samasekali tidak
pernah menduga , bahwa perampasan-perampasan yang tidak tahu malu telah bisa
dilakukan berdasarkan buah pikirannya. Organisasinya sudah dapat digarap
sedemikian rupa untuk tidak bisa dan tidak akan membelanya, tidak bisa
mempertahankannya. Bukan hanyakarena tak tahu dan tak sadar hokum, terutama
karena sudah dibikin hilang nyalinya terhadap Gubermen.
Pangemanann bersiap untuk menjemput
Pitung modern dari pembuangannya.
Tempat yang
pertama kali dikunjungi R..M.Minke adalah H.B.S. bekas tempat sekolahnya dulu.
Ia menunduk tak bicara sesuatu. Ia pun tak punya perhatian pada pemandangan
lain, juga pada lalu lintas. Nampaknya ia hanya hendak bertemu dengan
kenang-kenangam masa lalu yang sudah tak tergapai lagi, hilang untuk
selama-lamanya dari kenyataan, tetapi abadi dan terus mengganggu dalam
ingatannya.
Pangemanann bergumam dalam
hati,”orang disampingku ini mungkin satu-satunya orang Pribumi Jawa yang telah
membuang segala ilusinya sebagai bangsa dan sebagai pribadi . dengan ilmu dan
pengetahuannyayang belum memadai ia mengapai-gapai, meraih segala rantingdan
rumput untuk membangunkan nasionalisme Hindia.
Dari sepnya Tuan Pangemanann tahu
Tuan Besar Gubernur Jenderal sangat berkenan dengan sikap Raden Mas Minke.
Beliau mendengarkan laporan itu sambil mengangguk, kemudian berkata sambil
tertawa, “setiap orang Eropa yang mempunyai harga diri akan berlaku sama. Aku
pikir Tuan Idenburg dulu tak pernah benar bertindak sekeras itu tindakan itu
akan membikin dia menjadi lebih keras.”
Tuan Besar Gubernur Jenderal Van
Limburg Stirum memang menganggap bahwa penggunaan hak-hak exorbitant secara
gampang adalah bukan saja tidak patut juga imoril. Biarpun begitu Pangemanann
kira tidak tepat kalau mengecam pendahulunya, karena masa pemerintahannya tidak
sama dengan sebelumnya. Perang dunia memang mengubah banyak bobot dalam
kehidupan di Hindia sekarang. Baiklah. Barangkali mulai sekarang Gubermen akan
tetap berpegangan pada keputusan pengadilan.
Untuk menyelamatkan kedudukannya
Pangemanann memperlihatkan kegiatan sebaik-baiknya. Keadaan memang menyuramkan
haridepannya, tetapi ketentuan-ketentuan mengenai tugasnya tak pernah diubah
ataupun diganti.
Suara Tuan Besar Van Limburg Stirum
adalah laksana suara malaikat dari langit. Tetapi dia dibumi Hindia lain lagi
yang harus berlaku… dan ini dapat diikuti dari perjalanan manusia bumi bernama
Raden Mas Minke, sebagai mana dapat dipelajari pada laporan-laporan yang sangat
banyak , melalui penyaringan yang cukup teliti.
Raden Mas Minke sekarang brjalan
ragu menuju Kwitang, membelok ke kiri. Beberapa puluh meter di sebelah kiri
perlimaan ai berhenti, memandangi rumah pertama-tam yang pernah di sewanya
dalam hidupnya. Dan sebelah kanannya dari dari kejauhan tak nampak dari tempat
ia berdiri, dalah kompleks rumah sakit dan sekolah kedokteran di mana ia pernah
belajar selama enam tahun.
Pangemanann menyadari sesungguhnya
dia telah berkembang jadi seorang yang sadis. Dan betapa mahalnya oarng menjadi
sadis, tanpa menyesali perbuatannya sendiri ini. Bahkan merasa mendapat
kehormatan dapat menganiayanya seperti ini. Dan menjadi sadis di Hindia ini
bisa saja selama ia jadi pembesar. Yang tidak boleh dan yang dihukum adalah
mereka yang tidak mempunyai kekuasaan. Dengan menganiayanya begini rupa dia
merasa menjadi semakin penting dan berbobot dan dia semakin jijik pada dirinya
sendiri.
Minke seorang diri disebuah dangau,
ia mengenangkan segala-galanya yang sudah lewat. Ia yang begitu terkenal lima tahun yang lalu, kini
sudah terlupakan, terlempar seperti sepotong gombal di pojokan. Ia yang hidup
dan bisa hidup hanya dari memimpin domba-dombanya. Sekarang tak seekor domba
pun akan dipimpinnya.
Tiga hari kemudian dilaporkan ia
naik kereta api klas tiga menuju Betawi. Di Bandung ia tidak menemukan apa yang
dicarinya. Di Sukabumi pun ia tak mendapatkan sesuatu. Bila ada itu hanya
berita-berita dari masa yang sudah silam. Ia sudah tak mapu menyewa Delman lagi
itu artinya persediaan uangnya semakin menipis dan kesehatannya pun mulai
menurun. Dalam keadaan yang seperti itu ia terus mengembara dari pasar ke
pasar. Ternyata kemudian ia ditampung oleh salah seorang sahabat yang lama,
Goenawan, yang telah dikucilkan oleh Syarikat Islam setelah kekuasaannya Mas
Tjokro.
Goenawanlah yang menyampaikan
padanya tentang perkembangan Syarikat setelah ditinggalkannya___perkembangan
tidak sebagaimana banyak disiarkan didalam pers, tetapi sebagaimana wujudnya
sendiri. Dan ia mendengarkan dengan diam-diam sambil antara sebentar
menggeleng-geleng tidak percaya.
Percakapan antara dua orang tanpa
pendengar itu telah sampai pada Pangemanann melalui jalan berkelok dan berliku
dan menerbitkan kegemparan pada banyak instansi. Kantor sibuk. Lebih sibuk lagi
adalah Pangemanann, yang mendapatkan perintah bertubi-tubi dari stafnya untuk
mempelajari semua berkas tentang Minke. Pangemanann lakukan semua perintah itu
sekalipun sudah hafal setiap lembar darinya. Juga dia pelajari naskah dari Ambon, yang sampai sejauh itu tak ada yang mengetahui
telah ia geser menjadi miliknya sendiri dan ia simpan dalam rumahnya.
Kejaksaan negeri Bandung sibuk pula memeriksa kembali
berkas-berkas penyitaan atas perusahaan-perusahaan Syarikat yang di bawah
kekuasaan langsung Raden Mas Minke. Pihak kepolisian Betawi tak kurang sibuknya
untuk melakukan pendaftaran orang-orang yang dahulu sangat dekat dengannya, dan
menyebarkan kuping dan mata untuk melihat-lihat ada tidaknya persiapan pada
mereka untuk membantunya. Juga pihak kepolisian Buitenzorg dan Bandung.
Pangemanann sendiri harus datang ke
Bank-bank bersangkutan dengan maksud melakukan pemeriksaan di sana. Tak ada diantara mereka mau
memperlihatkan buku-buku Raden Mas Minke. “Tentang itu kami hanya punya urusan
dengan Tuan Raden Mas Minke,” kata mereka.
Pada kepolisian Pangemanann berikan
tugas untuk mencari Tuan Koordat Everest, bekas administratur Medan sebagai perusahaan penerbitan. Ternyata
ia sudah pulang ke Belanda dan pindah ke Suriname, membuka sebuah perkebunan
sebagai orang yang sudah hartawan.
Kepolisian Suriname melalui pihak kepolisian Nederland mendapat
perintah pengusutan terhadap Koordinat Everest. Pemeriksaan berulang-ulang dan
cukup mendalam menghasilkan pengakuan, bahwa ia telah melakukan kecurigaan
pembukuan karena intimidasi De Zweep
dan juga karena mempunyai keuntungan pribadi dalam perbuatan itu.
Minke memang bisa membikin seruan
pada sahabat-sahabatnya di Eropa untuk menelanjangi Gubermen di depan mata
dunia. Tapi Pangemanann harus menghalang-halangi kejadian itu. Mungkin ia telah
melayangkan sepucuk dua pucuk surat
pada mereka. Bila demikian Suurhof dan sisa-sisa gerombolannya akan dikirimkan
keneraka oleh Cor Oosterhof, tak peduli di manapun mereka berada.
Dari laporan selanjutnya dapat
diketahui, bahwa beberapa kali Minke menyatakan keinginannya pada sahabatnya
untuk mengirimkan surat
dan telegram. Tapi Goenawan kurang dapat memahami keinginannya, maka tidak
memberikan biaya untuk itu. Dan Pitung modern, tak punya barabg sesen pun yang
dapat disebut sebagai miliknya. Ia bermaksud untuk menemui Thamrin Mohammad
Tabri, tetapi badannya masih lemah untuk berjalan kaki agak jauh. Ia harus menunda
semua rencananya.
Tapi tanpa tidak diduga dalam
keadaan sakit itu Raden Mas Minke dibawa kembali oleh Goenawan pulang
kerumahnya dan meniggal dunia dalam perawatannya.
Demikian akhir hidup Raden Mas
Minke, meninggalkan pada dunia bekas-bekas jejak dan langkahnya. Ia pergi dalam
kesepian___ia yang sudah dilupakan, dilupakan sudah sejak hidupnya. Ia seorang
pemimpin yang dilupakan oleh pengikutnya. Tak pernah terjadi yang demikian di
Eropa. Mungkin bisa terjadi dan telah terjadi hanya di Hindia, dimana tulang
belulang pun dengan cepatnya dihancurkan oleh kelembaban. Bagaimana pun masih
baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang
penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut.
Kematiannya membikin Pangemanann
merenung tentang kedudukan manusia yang sangat goyah dan rapuh di tengah-tengah
kehidupan ini. Pangemanann masih dapat mengingat tangan-tangan yang gerayangan
mengguntingi hubungannya dengan masalalu dan masa depannya. Pangemanann masih
dapat dengar suara-suara yang ditiupkan untuk menghalaunya dari tempat yang
semestinya ia tuju. Dan tak ada seorang pun di dunia ini yang lebih mengetahui
tentangnya dari pada Pangemanann. Dari atas mejanya telah dia ciptakan
benaang-benang gaib yang menghubungkan dia dengannya, sampai-sampai gerak
jarinya dapat dia rasai, denyut jantungnya dapat dia dengar. Maka Pangemanann
tahu tak ada satu patah kata pun dia wasiatkan sebelum meninggalnya.
Ia telah meninggal karena sakit
perut yang mendadk. Pangemanann akan berkukuh pada keterangan pemuda itu, bahwa
benar ia telah terkena disentri. Kelak mungkin akan muncul seseorang yang
membantahnya, tapi itu bukan perkaranya lagi, karena pada waktu itu juga
Pangemanann sudah pergi dari atas bumi yang fana ini. Pada akhirnya persoalan
hidup adalah persoalan menunda matii, biarpun orang-orang yang bijaksana lebih
suka mati sekali daripada berkali-kali.
Raden Mas Minke telah meniggal. Ia
diangkut ketempat peristirahatan terakhir dikuburan Karet oleh
penggotong-penggotong upahan. Hanya seorang diantara kenalannya yang
mengiringkan: Goenawan. Tak ada yang lain. Dan ada seorang pengagumnya
mengiringkan drai kejauhan. Orang itu adalah Jacques Pangemanann, juga waktu ia
diturunkan ke liang lahat pengagumnya menyaksikan dari jauh. Hatinya merasa
lega, karena dengan kematiannya tak bakal ada persoalan muncul tentang Suurhof,
tentang De Zweep, dan sebangsanya. Dia telah pergi ke tempat kemana setiap
orang akan dan sedang pergi.
Bahwa
tak ada surat
kabar memberitakan tentang kematiannya sudah cukup bagi Pangemanann untuk
merasa aman. Dia tetap dilupakan orang.
Tetapi benarkah dia dilupakan orang?
Di atas jejaknya orang ternyata pada
berdatangan dan melaluinya, dan meninggalkan jejak lebih jauh dan lebih banyak
lagi. Pangemanann sudah dapat melihat gejala ini. Apa yang ada di depan
Pangemanann ini juga merupakan petrtanda, sebuah buku baru berjudul Student Hidjo karangan Marco
Kartodikromo. Biarpun Pangemanann tak suka gaya bahasa, penggunaan bahasa, bahkan juga
tidak pada ceritanya, pangemanann telah baca juga buku itu.
Marco untuk sementara tidak tampil
di atas mimbar, juga tidak main di panggung ketoprak. Ia memencilkan diri dan
giat menulis dan menulis, mengumumkannya tanpa nama. Tapi Pangemanann takkan
pangling pada gaya
dan pilihan knpa nama. Tapi Pangemanann takkan pangling pada gaya dan pilihan kata serta yeman-teman-nya.
Nada tulisannya semakin keras, semakin mengajak dan menggoda untuk membikin
keonaran.
Gubermen dalam kerincuhan sosial
yang semakin meningkat sengaja tidak mengambil tindakan-tindakan keras seperti
dahulu, sehingga Pangemanann semakin dapat diyakinkan, bahwa ini memang sudah
menjadi garis kebijaksanaan Kerajaan. Yang jelas ada timbul kekuatiran
tindakan-tindakan keras akan meningkatkan kerincuhan.
Minke suatu pribadi yang Pangemanann
hargai dan hormati, baru lima
tahun lebih sedikit kau diceraikan dari pengikut-pengikutmu. Orang sudah
melupakan kau. Kalau tak ada orang lain kecuali Pangemanann yang mau
mengenangkan kau, pilihlah tempatmu sendiri sebagaimana kau kehendaki. Pada
suatu kali Pangemanann akan sering-sering sebut namamu. Pada suatu kali. Tidak
sekarang. Semoga tuhanmu menerimamu dan memberikan tempat padamu yang
selayak-layaknya sesuai dengan amalmu sendiri….
Keadaan semakin hangat .
perbuatan-perbuatan kekerasan terjadi dimana-mana. Beberapa biang keladi
kekerasan yang ditangkap ternyata residivis yang pernah berkenalan dengan
hokum-hukum politik di masa Idenburg. Kejahatan dan politik menunjukkan gejala
berpeluk berpilin-pilin pada beberapa tempat.
Gubernur Jenderal yang sekarang
mempunyai kecenderungan untuk mengakhiri semua ini dengan jalan politik, tetapi
jalan itu belum ditemukannya secara cepat. Malahan beliau belum lagi mencoba
membicarakannya dengan staf Algemeene Secretarie. Van Limburg Stirum masih
tetap misterius. Nampak ia berpandangan, bahwa tindakan non-politik hanya akan
semakin mengeruhkan keadaan.
Gubernur Jenderal nampaknya menjadi
begitu bersemangat dan keluar dari
sifatnya yang misterius. Dengan serta meta kami telah mendapat perintah untuk
memanggil organisasi-organisasi penting di Hindia, Pribumi dan Eropa.
Delegasi-delegasi berdatangan da Pangemanann tidak pernah diikut sertakan.
Pangeamanann sudah dapat bayangkan
bagaimana nasibnya. Takkan lebih daripada guru, Raden Mas Minke.
Ternyata kerusuhan pada garis bujur
Semarang-Sala-Yogyakarta tidak juga mereda karena janji pemerintahan sendiri.
Tak lain dari Pangemanann yang bergirang hati melihat kenyataan ini.
Pangemanann kerahkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam tangannya untuk semakin
membuncahkannya. Mengertilah kalau dahulu ia menindas mereka yang tidak disukai
oleh Gubermen. Gubermen harus tahu, bahwa janji pemerintahan sendiri tidak
digubris oleh angkatan muda yang berkepala panas. Gubernur harus menarik
kembali janjinya. Harus. Semua jalan boleh ia tempuh demi mempertahankan
kedudukannya yang dalam keadaan bahaya.
Pangemanann semakin binggung situasi
politik telah berubah. Dia tak dapat mengikuti. Semakin hari semakin berubah
bertolak dari perubahan pertamayang dia sudah tidak mengerti. Tiba-tiba ia
teringat pada anak istrinya yang sudah lama tidak menyurati ia.
Setelah itu dia minta dibikinkan
karangan bunga dengan segera, tanpa pita, tanpa tulisan,dan pergilah dia ke
Karet.
Seorang diri Pngemanann masuki
pekuburan itu. Penjaga pun tidak ia gubris. Ia sandarkan karangan bunga itu
pada nisan utara, Karena ia di kuburkan sebagai oarng Islam. Ia pandangi
kuburan sederhana, telah telanjang berwarna kecoklatan yang disana-sini
ditumbuhi rumput rendah dan gemuk. Dan karangan bunga yang dahulu ia letakkan
di sini kini tiada bekasnya sama sekali.
Kehidupan tidak kembali seperti
semula, karena hati Pangemanann semakin sunyi. Ia hanya akan mendapat pensiun
sebagai balas jasa terhadap semua kehilangannya. Hanya pensiun! Bahwa melihat
dirinya sendiri dalam formasi pemerintahan sendiri ia tak mampu. Betapa
kikirnya sang nasib padanya. Ia yang mengetahui segala-galanya tentang
organisasi Pribumi!
Kedatangan Delegasi Hindia dari Nederland semakin
mendongkolkan Pangemanann. Dari ini merasa di kesampingkan tidak adil. Ia lebih
dekat pada Tuan Besar Gubernur Jenderal, mengapa orang-oarng yang lebih jauh
yang justru mendapat perhatiannya? “Apakah patut bagi orang setua aku ini untuk
menitikkan airmata protes yang jelas takkan sesuatu apapun?” gumam Pangemanann
dalam hati.
Waktu kemudian Pangemanann jatuh
sakit lagi ternyata tak ada terjadi sesuatu karena ketidak-hadirannya yang lama
itu. Jelas tenaganya tidak diperlukan lagi. Tak ada yang menghiburkan dalam
kesunyian dan kesepiannya dari pada kenangan gereja.
Setelah seminggu beristirahat
kesehatannya pulih kembali. Dan kembali memasuki kantornya. Maka duduklah ia
dan mulai membuka-buka koran, dan koran terbaru. Begitulah setiap hari ia
datang hanya untuk membalik-balik koran.
Pada waktu itu juga tahulah ia,
bahwa watak organisasi-organisasi ini dan semua pemimpinnya tak lain dari pada
opportunis, watak penyempit.
Pangemanann mulai menulis hari ini.
Ia harus kuat. Ia belum rela kalau belum menyelesaikan semua ini. Ia rasai
pikirannya jernih setelah minum air dingin dari babunya. Ia tunggui Pangemanann
menulis berjam-jam sampai tengah malam, sampai subuh. Ditambah penutup yang ia
ulangi menjadi surat
untuk Madame Le Boucq dengan alamat Konsul Prancis di Betawi:
Kepada madame Sanikem Le boucq,
Tak perlu kiranya aku menjelaskan
tentang yang selebihnya yang telah kulakukan itu; Madame sebagai wanita yang
arif bijaksana dapat mengerti semuanya. Tentang kenyataan-kenyataan cukuplah
semua tertera dalam berkas catatanku Rumah
Kaca ini, yang dengan rela kupersembahnkan padamu. Madamelah hakimku.
Hukuman aku terima Madame.
Bersama ini aku serahkan juga padamu
naskah-naskah yang memang menjadi hakmu, tulisan R.M.Minke, anakmu kekasih.
Terserah bagaimana Madame menggunakan dan merawatnya.
Deposuit Potentes de Sade et
Exaltavat Humiles.
(Dia rendahkan Mereka Yang Berkuasa
dan Naikkan Mereka Yang Terhina).
terimakasih banyak atas ringkasan novelnya sangat membantu
BalasHapustetrapologi pulau buruh ???
BalasHapusburuh it is mean labour, but Buru it is name of island.
betapa bahasa sangat rapuh sebagai instrumen mengemukakan pikiran yang (mestinya)bisa orinil, andai bisa lebih akurat dalam memilih kosa kata, di situ (merupakan salah satu)bagian dari kualitas menulis
dan lebih lagi mana kata depan dan mana awalan dari sebuah kosa kata tanpa dikuasai dan lepas begitu liar. kasihan sang bahasa rusak oleh pemakai jamannya sendiri.
saya merasa tak perlu menggunakan 'caps lock' dalam kata-kata ini, karena memang bukan forum yang (saya anggap)tepat, kecuali diperlukan.
tetralogi pulau buru adalah karya 'brilian' yang mendapat pengakuan dunia luar, tetapi terjadi korosi kemilaunya yang hanya oleh keterbatasan tanpa disadari. terjadilah itu di era sekarang, dengan berpenampilan sebagai 'good reader but not good listener'.
pendalaman akan melewati proses-proses jujur pada jamannya, tanpa memandang siapa itu terpelajar atau rakyat jelata yang sedang belajar mengeja tulisan.
salam Indonesia.
Buseddd....sedendam inikah walikelas ku😭😭 sampe nyuruh menceritakan ulang
BalasHapus