Pengarang : Tony Parsons
Tebal : 568
Untuk Kukasihi: One For My Baby
Dari daerah
Kanton, kurasa, karena meskipun pemegang paspor Inggris kuno berwarna biru dan
suka mengaku dirinya oang Inggris, ia lahir di Hong Kong dan kadang-kadang kau
bisa melihat semua hal penting yang di yakininya sudah terbentuk lama sekali
dan berasal dari suatu tempat yang jauh. Sama seperti makna makan bubur dingin
itu.
Makan bubur
dingin itu berarti mengerjakan sesuatu begitu lama sampai ketika kau pulang
tidak ada lagi yang bisa dimakan kecuali bubur dingin. Untuk menjadi mahir dalam
suatu hal, kau harus makan bubur dingin itu, muridku. Aku mencoba betul-betul
mengerti. Namun aku tidak bisa berbuat lain, entah mengapa aku merasa makan
bubur dingin punya suatu arti yang lain. Entah mengapa dalam otakku yang bebal
aku mengartikan makan bubur dingin sebagai di dalam suatu masa yang susah. Yang
dia maksudkan adalah merelakan kenyamanan dan kesenangan untuk suatu tujuan
yang lebih baik dan menunda imbalan
untuk suatu tujuan yang lebih berarti di masa mendatang. Makan bubur dingin
sekarang supaya kau akan mendapatkan suatu yang lebih baik di masa mendatang.
Makan bubur
dingin bagiku itu berarti menjalan suatu yang harus di jalani. Lebih dari itu,
ungkapan tersebut berarti kehilangan seseorang. Seperti aku merasa kehilangan
dia. Namun dia sudah tiada dan takkan pernah kembali. Momentum yang sempurna
itu, saat ia membuka matanya dan tersenyum kepadaku, tapi sekarang aku tak kan dapat melihatnya
lagi. Kau bisa menghabiskan seluru waktumu di dunia ini, tapi takkan menemukan
lagi seseorang yang mengisi kekosongan yang pernah di tinggalkannya.karena
bagaimana mungkin kau bisa menemukan pengganti untuk cinta sejatimu? Namun mau
tak mau bginilah kenyataan.
Sekali hari aku
ingin menelponnya. Aku memang tidak pernah sampai menelpon nomernya, meskipun
selalu hampir sampai melakukannya. Aku khawatir suatu hari aku sungguh-sungguh
menelponnya di nomernya yang lama dan orang lain yang mengangkatnya. Begitu aku
merasa senang, sedih dan cemas, biasanya tiba-tiba aku merasa butuh bicara
dengannya. Di saat kami masih bersama. Ia sudah pergi dan aku tahu ia sudah
pergi. Jadi sekarang aku tahu apa yang sekarang harus aku lakukan. Aku harus
makan bubur dingin, dan berusaha untuk mengatasi perasaan yang tidak
tertahankan untuk meraih pesawat telepon itu.
Ada yang salah dengan
jantungku. Aku tidak mengerti. Aku baru berlari di taman selama sepuluh menit
namun otot-otot kakiku sudah terasa pegal, nafasku terengah-engah dan jantungku
terasa memenuhi rongga dadaku bak seporsi besar kebab yang belum dicerna.
Di hamparan
rumput tempat orang dilarang main bola, tampak seorang laki-laki Cina, umurnya
pasti sekitar seusia ayahku, hampir enam puluh, tapi ia kelihatan bugar dan
entah kenapa awet muda. Si pak tua itu memperhatikanku saat aku dengan nafas
tersengal-sengal menuju kearahnya. Aku tersentak sesaat. Aku pernah melihat
wajah seperti itu. Waktu aku tinggal di Hong Kong, aku melihat wajah itu bekerja
di Star Ferry, melihatnya mengemudikan taksi di Kowloon,
aku melihatnya menerawang sedih di arena pacuan kuda Happy Valley.
Aku pernah melihatnya wajah itu mendampingi seorang cucu bersorot mata lembut yang
sedang mengerjakan PR-nya dibagian belakang salah satu tokoh kecil, aku melihatnya
menyerumput bakmi di sebuah warung daipaidong, aku melihatnya penuh debu,
membangun gedung-gedung pencakar langit baru yang mega di atas puing-puing
tanah yang sudah di bebaskan.
Wajah itu
betul-betul tak asing bagiku. Wajah tanpa ekspresi, acuh tak acuh, dan tidak
peduli sama sekali menanggapi keberadaanku. Wajah itu tidak peduli apakah aku
hidup atau mati. Saat aku terengah-engah pandangan kami bertemu. Kemudian ia
mengatakan sesuatu. Satu patah kata, entah kenapa kedengarannya seperti “Apes”.
Hong Kong membuat kita merasa spesial. Kita menatap
kemilau lampu-lampu, uang yang banyak sekali, orang-orang yang tinggal di
daerah pendudukan Inggris yang kecil dilaut Cina selatan itu, dan kita merasa
spesial dengan cara yang takkan pernah kita rasakan di London,
Liverpool, dan Edinburgh.
Aku mengajar
bahasa inggris di Double
Fortune Laguange
School pada nyonya-nyonya
Cina kaya dan trendi yang ingin bisa berbicara pada para pelayan restoran
bermata bundar di dalam bahasa asal mereka. Aku memang sedikit lain dengan
kolega-kolegaku. Kesannya seperti semua guru lain di Double Fortune
Laguange School.
Moto kami: “Belajar bahasa Inggris dengan mudah hanya dalam dua tahun”.
Aku berada di
Hong Kong karena merasa jenuh di London.
Tadinya aku mengajar Sastra Inggris di sebuah sekolah di tengah kota selama lima
tahun. Situasinya memang tidak mudah. Apakah The Princess Diana Coomprehensive
School untuk anak laki-laki terdengar asing di telinga anda. Lokasinya di
sebelah utara London, di sana guru pertukarannya memang di temukan
dalam keadaaan terjepit diantara perangkatnya sendiri. Walaupun begitu ternyata
orangtua di sana
jauh lebih menakutkan daripada anak-anak mereka. Pada malam-malam pertemuan di
The Princess Diana, aku akan mendapati diriku berhadapan dengan orang-orang
berotot dengan tampang sangar dan tato seram. Dan itu baru ibu-ibunya. Aku
jenuh menghadapi semua itu. Jenuh dan capek mencoba menjelaskan kehebatan dan
pesona bahasa Inggris pada anak-anak yang menuangkan kata-kata “Fuck”,
“Fucking” dan “Fucked” dalam kalimat-kalimat mereka seperti saus tomat dalam
Humberger.
Hong Kong membuat aku mesara seakan negeriku telah
melakukan sesuatu yang penting dan unik. Sesuatu yang menajubkan dan berani.
Dan ketika aku melihat semua lampu itu, aku merasa semua itu seakan sedikit
banyak merupakan bagian dari diriku.
Si pak tua Cina
itu bukan satu-satunya tanda adanya kehidupan di sana. Di sisi lain taman itu terdapat
sejumlah tukang nongkrong sabtu malam, sekelompok remaja yang jelas belum
kembali pulang ke rumah. Begitu melihat aku dengan tersengal-sengal menuju kearah
mereka, mereka bertukar pandang sambil nyengir dan aku membatin, apa yang
mereka tertawakan. Aku langsung tahu jawabannya. Mereka sedang menertawakan
laki-laki gemuk berwajah merah yang terengah-engah dalam pakaian trainer baru
dan jelas tidak memiliki tujuan tertentu di sabtu malam itu dan tak ada satu
orang pun yang menemaninya ke sana.
Setelah itu untuk waktu yang lama aku cuma duduk disana sambil memutar-mutar cincin
kawin di jari tangan kiriku, dengan perasaan sangat kesepian. Aku berkenalan
dengannya di atas Star Ferry, feri tua hijau-putih dengan dek bertingkat yang
melayani penyebrangan antara Kowloon yang yang
terletak di ujung daratan Cina dengan kepulauan
Hong Kong.
Hong Kong.
Aku memang bukan
tipe yang menguasai seni langsung sambar, dan itu tidak terjadi dalam perkenalan
dengan Rose. Tapi di atas Ferry lah aku pertama kalinya melihat Rose, berusaha
menerobos pintu putar dengan membawa dus Karton besar, yang kemudian ia tumpu
di pinggulnya saat menjejalkan beberapa koin ke dalam celah mesin otomat.
Rambutnya hitam sehitam orang Cina, namun kulitnya sangat putih, seakan dia
baru saja tiba dari satu negeri yang hujannya tak pernah berhenti. Ia
mengenakkan setelan blazer sederhana, namun dus karton besar itu membuatnya
tampak seakan ia bekerja di salah satu gang pasar di atas Sheung Wan, sebelah barat
daerah Central.
Tangga feri
diturunkan dan orang-orang mulai berbondong-bondong menaiki Star Ferry dengan gaya khas daerah Kanton.
Aku mengawasi perjuangannya dengan dus kartonnya. Di saat ia tersenyum
buru-buru untuk mengucapkan maaf setelah menghantam punggung seorang pembisnis
Cina dengan dusnya. Aku mendapat tempat duduk. Ia berdiri di dekatku, tersenyum
sendiri sambil merangkul dusnya.
Perjalanan
antara Kowloon dan kepulauan Hong
Kong itu hanya memakan waktu tujuh menit. Aku berdiri sambil
berkata “Maaf anda mau duduk?”. Ia Cuma menatapku. Tadinya aku mau mengira
bahwa ia orang Inggris atau Amerika. Tapi sekarang aku melihat dari rambutnya,
matanya dan pipinya, aku beranggapan jika ia berasal dari Mediterania. Dusnya
berisi penuh dengan selembaran amplok manila, dan dokumen-dokumen dengan segel
yang bewarna merah menyalah. Mungkin ia seorang pengacara dan mungkin ia hanya
mau berbicara dengan mereka yang menggunakan jas dan memiliki penghasilan enam
digit. Aku baru akan duduk lagi ketika seorang laki-laki Cina tua berkemeja
nilon dengan selembar Koran pacuan kuda mendorongku dan langsung menjatuhkan
dirinya di tempat dudukku. Aku menatapnya dengan bengong saat ia membuka
korannya dan mulai mempelajari kuda-kuda mana yang unggul di Happy Valley.
“itulah yang
terjadi” ujar Rose sambil tertawa. “kalau anda dapat tempat, sebaiknya anda
tetap duduk”.
Star Ferry
merapat ke dermaga. Tangga feri di turunkan orang-orang segera naik kedarat. Kemudian
ia tidak kelihatan lagi, terbawa arus orang-orang Kanton dengan dus kartonnya
yang penuh dokumen-dokumen menuju daerah
dermaga dan setelah itu distrik bisnis daerah Central. Aku berusaha mencarinya
diantara orang-orang di atas Star Ferry pada keesokan harinya, dan pada hari
berikutnya, dan hari setelah itu, dengan harapan dapat tiba-tiba melihatnya
tersenyum pada seseorang yang ia langgar dengan sebuah dus besar berisi
dokumen-dokumen hukum.
Saat itu hari minggu malam dan bar yang
terletak dilantai teratas Hotel Mandarin itu penuh sesak dengan orang-orang
berisik. Sebenarnya aku tidak mampu minum-minum disini menggunakan apa yang
diberikan padaku oleh Double
Fortune Language
School. Begitu tentara
pembebasan rakyat bergerak masuk, kau akan melihat semua yang ada di Central
bergegas ke bandara. Ia bicara dalam nada yang membuatku merinding, penuh gaya seakan terdidikdan
memiliki hak istimewah untuk mengeluarkan kata-kata bodoh yang diucapkan dengan
rasa percaya diri. “kembalikan tempat ini kepada orang kasar-kasar itu, kau
tinggal melihat mereka membunuh si bebek bertelur emas”, ujarnya. Aku menoleh
untuk melihat tampangnya. Laki-laki itu duduk didekat sebuah jendela dengan
seorang gadis, yang mencoba membuatnya terkesan. Si sok berotot rupanya tidak
berupaya menjaga volume suaranya. Si sok berotot itu mengangkat wajahnya
kearahku. Dia tampak bersinar. Si sok berotot kelihatan pirang sedangkan gadis
itu lebih gelap. “apa sahutnya kasar”, ujarnya. “ lihat dirimu”, ujarku.
“tenang Josh,”ujar Rose, sambil menyentuh lengannya. Seperti apapun ia nampak
kehabisan kata-kata. “ah sudahlah kalian”, ujar Rose menengahi. Setelah itu aku
mengalihkan pandanganku kearah Josh. Aku bahkan berjabatan tangan dengan si
Josh. Rose tersenyum padaku. Beginilah awalnya
Seharusnya kami
tidak cocok. Ia memiliki karir. Di usia 25, Rose sudah meraih sukses. Ia
tinggal di apartemen kecil yang indah di
Conduit Road, Upper Mid-Level, dibawah naungan
puncak Victoria-surga kaum ekspat. Tempat kami termasuk di salah satu sarang
sempit dengan diding-dinding yang begitu tipisnya. Rose tidak terbawa arus datang
ke Hong Kong, tidak seperti aku. Sementara aku
berkulat untuk membayar uang sewa, dibalik pintu-pintu tertutup daerah Central,
roda perekonomian terus bergulir maju. Rose adalah salah satu diantara mereka.
Aku benar-benar tidak punya bayangan dengan apa yang ia kerjakan. Hampir semua
koleganya kaum muda yang suka berpesta dibar lantai atas Hotel Mandarin pada
malam. Mereka melihat sebuah papan nama untuk Wang King Road, dan menjadikannya
bahan lelucon tentang masa tinggal mereka, seakan keberadaan Hong Kong hanya
sebagai ajang hiburan mereka. Aku juga tertawa ketika melihat iklan My Piss
untuk pertama kalinya. Rose memang tidak seperti kebanyakan dari mereka. Aku
tidak bermaksud menyamakan dirinya dengan ibu Teresa yang membawa sebuah tas
kantor. Ia mencintai Hong Kong. Ia ingin
mengetahui lebih banyak tentang Hong Kong.
Rose mengajakku menjajaki secara lebih mendalam. Ia mengajakku ke sebuah
kelenteng dibelakang daerah Central, disana segalanya bernuansa merah dan emas
dan udarahnya pengap karena asap dupa wangi, sementara nyonya-nyonya tua kecil
membakar uang-uangan dalam gentong-gentong batu yang besar. “simbol umur
panjang”, ujar Rose. Dihari-hari yang kami anggap tak berakhir itu, ia
mengajakku ketempat-tempat yang takkan pernah kudatangi tanpa dirinya. Aku
menemuinya sepulang kerja. Kemudian kami naik Star Ferry ke Kowloon untuk nonton di sebuah bioskop. Namun
ia toh suka melakukan semua yang khas Inggris. Memang menyenangkan melakukan
hal-hal yang khas Inggris. Cricket, rugby, sandwich, yang pinggirannya
dipotong.
Di kawasan asia
kami menemukan Hong Kong. Ia cantik, cerdas,
dan baik. Ia penuh rasa ingin tahu dan tegar. Rose memihakku dengan cara yang
belum pernah dilakukan seorangpun. Dan dengan mencintaiku, ia melepaskan semua
belengguku, sehingga akau bebas menjadi diriku. Aku pernah memiliki Impian di
London, impian untuk mencoba menjadi penulis, yang tidak pernah aku jajaki
dengan berani. Karena itulah segalanya menjadi sulit sekarang. Si pak tua itu
baru saja mengahiri tarian gerak lambatnya. Saat aku lewat didepannya, untuk
kedua kalinya, dalam tempo yang lebih menyeret langkah-langkahku daripada
berlari. Sekarang ia menatapku seakan sudah pernah melihat tampangku ribuan
kali. Ia menyapaku lagi dan kali ini aku bisa menagkap dengan jelas apa yang dikatakannya.
Kemudian ia mengalihkan perhatian dariku. Karena itu aku mencobanya saat aku
lari keluar dari taman itu. Sambil mengarungi harapan daun daun kering terakhir
untuk tahun ini, aku harus mencoba mengambil nafasku sekali lagi. Tidak mudah
memang. Seperti kau tahu, Rose pernah menjadi alasanku bernafas.
Dimana suatu
impian berawal? Impianku untuk menjadi seorang penulis berawal dari masa
kanak-kanakku. Ayahku adalah reporter olahraga disebuah harian nasional. Ayahku
bukan reporter keluarga yang terkenal.ayahku tidak pernah benar-benar menyukai
prosedur pemberitaan. Ayahku bukan reporter olahraga yang hebat. Tapi ayahku
tetap pahlawanku. Kemudian ia menulis buku. Kau mungkin tahu, bahkan sudah
membacanya. Karena Oranges For Christmas A Childhood Memoir merupakan
salah satu buku yang begitu merasuki perasaan, seakan tidak terhenti terjual.
Aku sedang
menjalani pendidikan di sekolah guru saat buku ayahku diluncurkan. Aku tahu
bahwa itu bukan hal yang mudah, butuh waktu bertahun-tahun untuk menulis Oranges
For Christmas. Namun suatu keberhasilan muncul begitu saja. Oranges For
Christmas A Childhood Memoir memang buku yang bagus. Buku ini tentang masa
kanak-kanak ayahku di East End mengenai
seberapa miskin tapi bahagianya mereka, mengenai seberapa senangnya ayahku
beserta pasukan yang berupa kakak adiknya diantara mereka. Oranges For
Christmas penuh dengan bocah berandalan bermuka kotor yang menikmati
berburuan tikus diantara puing-puing bekas pengeboman, sementara
tetangga-tetangga mereka menjadi k0orban serangan udara Luftwaffe. Dan itu
memang ironis, karena Oranges For Christmas seperti bom yang dijatuhkan
Hitler bagi keluarga ayahku. Kakak perempuan tertua ayahku, Autie Janet, tidak
menghargai ide bahwa ayahku mengungkapkan pada dunia tentang saat ayah mereka
memergoki dirinya mengencani GI-serdadu Amerika, sewaktu terjadinya pemadaman.
Adik laki-laki ayahku, Reg, juga sempat mencak-mencak begitu membaca Oranges
For Christmas. Kemudian masih ada Uncle Pete, seorang remaja di dalam buku
itu, yang ikut berkecimpung dalam perdagangan dipasar gelap dan banyak membuat
ibu rumah tangga muda tanpa stoking, yang memiliki suami digaris depan
melakukan apa yang disebut Pete “main asyik-asyikan”. Auntie Janet yang menjadi
pelampiasan nafsu seorang serdadu Amerika muda yang akan berangkat kepantai
Normandia. Dan gara-gara Oranges For Christmas, semua orang menyukai
ayahku. Selain saudara-saudaranya sendiri.
Di saat kembali
setelah tinggal selama beberapa waktu diluar negeri, kau akan melihat negeri
asalmu dengan mata seorang musafir yang menjelajahi waktu. Aku hanya pergi
selama dua tahun, lebih sedikit, mulai dari musim semi tahun 1996 sampai musim
panas 1998. kemudian ternyata perasaan sulit orientasi yang kualami ini tidak
selamanya berhubungan dengan Rose. Aku merasakan itu di saat duduk di belakang
kemudi mobil ayahku, melihat Koran, makan bersama kedua orangtuaku. Semuanya
terasa sedikit janggal. Di mulai dengan adanya kaum pengungsi di Euston Road.
Sewaktu aku berangkat, belum ada seorang pengungsipun di Euston Road. Semua itu memang baru.
Semua itu sepertinya tidak masuk akal bagiku. Tempat asalku memang masih tampak
seperti dulu, dengan cara mencemaskan. Kadang-kadang aku merasa seperti bgerada di suatu tempat yang lain.
Sementara ini
aku tinggal bersama kedua orangtuaku. Ini semua hanya untuk sementara. Dan aku
tahu seharusnya aku mencoba melanjutkanhidupku. Tapi kalau kau percaya kau bisa
mengenali seseorang yang tadinya belum pernah bertemu denganmu. Mereka memiliki
rumah yang besar sekarang. Saat aku tumbuh dewasa dan ayahku masih seorang
reporter olahraga. Kini ayahku sedang mencoba untuk menulis kelanjutan buku Oranges
For Christmas, tentang bagaimana keberadaan keluarga yang benar-benar
miskin tapi amat bahagia dimasa persis setelah berakhirnya Perang Dunia II. Aku
tahu bahwa si pak tua cemas mengenai diriku. Kedua orangtuaku hanya
mengharapkan yang terbaik untukku, namun mereka selalu mempermasalahkan sikapku
untuk tidak dapat melupakan Rose, tidak dapat mengatasinya dan juga tidak dapat
melanjutkan hidupku. Aku mencintai orangtuaku namun mereka menganggapku gemas.
Ayah dan ibuku menganggap aku tidak waras karena aku tidak dapat melupakan
Rose. Aku merasa ingin bertanya dengan mereka, bagaimana jika memang aku tidak
waras? Aku lebih merupakan tipe pecinta Sinatra. Tadinya aku mengira lagu-lagu
ini tentang kebersamaanku dengan kakekku. Kadang-kadang kakekku dan aku melihat
Sinatra dalam sqalah satu film. Aku tumbuh dewasa dengan mencintai Sinatra.
Mendengar Sinatra membuat aku teringat akan duduk dipangkuan kakekku.
Ayahku selalu
berusaha mengalihkan minatku ke Metown. Lagu-lagu yang yang dimainkan ayahku
untukku selalu berhubungan dengan masa muda, sedangkan lagu-lagu yang dimainkan
kakekku untukku adalah berhubungan dengan hidup.
Ayahku dan aku
memasuki ruang keluarga tempat nenekku sedang duduk didalam sofa favoritnya.
Melalui jendela panjang dibagian belakan ruangan itu, aku bisa melihat ibuku
dikebun, menyapu daun-daun yang berguguran. Ia menoleh padaku dan tersenyum.
Terdengar pintu depan dibanting seseorang. Suara bantingan pintu itu membuat
nenekku terbangun.
Aku
berjalan-jalan diseputar daerah Chinatown.
Saat kembali ke London,
itulah yang aku lakukan sepanjang hari. Dengan memasuki Chinatown
melalui salah satu dari tiga jalan utamanya Wardour Street disebelah barat, Macclesfield Street
diutara, New Court
ditimur. Hanya dalam waktu beberapa menit rasanya aku kembali ke Hong Kong. Deretan bebek di etalase-etalase, gadis-gadis
cantik dengan rambut mengkilat. Chinatown
merupakan salah satu tempat yang membuatku bahagia. Disana ada toko-toko,
swalayan, dan tentu saja berbagai restoran. Saat aku secara acak menjelajahi
jalan-jalan di Chinatown, sebuah puisi
melintas dalam ingatanku. “Mandalay” mengisahkan
seorang veteran Inggris yang sedang berkelana diseputar kota
London. “Mandalay” memang tidak
begitu berarti bagi murid-muridku yang bertubuh kurus dan pucat, dengan
perangkat modern dan seringai mengejek mereka.
Aku lebih suka
pergi ke Chinatown pagi-pagi. Saat itulah yang
paling aku sukai, saat yang ada disana hanyalah orang-orang Cina yang
bersiap-siap akan menghadapi kesibukan dihari itu. Aku selalu makan siang
disana. Kadang-kadang aku makan lebih siang, mungkin semangkuk bakmi kuah. Kau
bisa makan kapan saja di Chinatown.
Sejak aku
tinggal di Hong Kong, aku menjadi sangat suka
sekali pada acara minum teh diwaktu sore. Menurutnya acara minum teh diwaktu
sore merupakan saat menikmati makan yang paling menyenangkan, karena merupakan
satu-satunya kesempatan makan saat seharusnya kau bekerja. Rose selalu mengatakan
hal-hal seperti itu, hal-hal yang membuat apa yang kau rasakan sebetulnya bisa
dimaklumi.
Ada sebuah hotel keren
dekat Bond Street,
tempat mereka mmenyajikan acara teh sore. Pelayannya ramah. Di dekat stasiun
bawah tanah ada beberapa orang asing muda yang bersandar pada dinding dengan gaya pejalan kaki yang sedang bosan. Ada seorang gadis asia
yang rambutnya dicat pirang dan seorang anak muda yang berasal dari bagian yang
lebih panas di daerah Mediterania dengan kumis tipis dan cabang yang meruncing.
Mereka sama-sama membawa setumpuk selembaran yang mereka bagi-bagikan tanpa
gairah pada orang-orang yang lewat, sambil ngobrol dengan bahasa Inggris yang
jelek. Aku menerima selembaran. Selembaran itu diberi corak bendera Inggris dan
di bagian dalamnya ada pinggiran lain yang terdiri atas bendera-bendera dunia.
Di dekat tulisan Churchill’s International
Languange School
terdapat gambaran siluet laki-laki gemuk dan gundul yang menampilkan entah
Alfred Hitchcock atau mungkin Winston Churchill. Siluet itu dibuat seseorang
dengan bakat artistic seadanya. Namun aku mendapati diriku tidak bisa membuang
selembaran ini. Aku tidak tahu. Sepertinya cukup menjanjikan.
Kami tidak
pernah berada terlalu jauh dari daerah perairan di Hong
Kong. Mulai dari kafe kecil di Victoria
Peak sampai diruang minum teh di hotel
Peninsula. Dengan menamakan sampan yang
bergambar. Nyatanya angkutan ini merupakan sarana angkutan bermotor. Sampan itu
dimaksudkan sebagai semacam fasilitas. Terakhir kali kami menggunakan sampan
ini, kami berlayar kesebuah pulau kecil. Dalam perjalanan kembali kami akan
terkantuk-kantuk di dek. Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, namun saat
terbangun posisi matahari sudah berubah. Kemudian Rose berdiri tepat diatasku,
sambil tersenyum. Sambil menempatkan kakinya di masing-masing sisi tubuhku,
dengan hati-hati dia mengatur berdirinya sedemikian rupa, sehingga kepalanya
menutupi matahari. Untuk waktu yang lama kita sama-sama tidak bergerak.
Kemudian ia memindahkan kakinya.
Aku sudah
melewati pintu Churchill’s International
Languange School.
Pintu masuk itu terletak diantara sebuah toko jins lama dan sebuah Coffe
shop yang masih baru. Churcill,s International
Languange School
menempati seluruh lantai sebuah bangunan yang sepertinya semakin dalam semakin
besar. Churchill’s terkesantempat yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan
Princess Diana maupun Double Fortune. Tempat ini tidak memiliki kesan angker.
Aku tidak
mengungkapkan pada Lisa Smith bahwa mengajar sering membuatku mual. Aku menjaga
sikapku, menanyakan beberapa pertanyaan mengenai tunjangan serta
persyaratan-persyaratan kerja. Tapi aku sudah tahu bahwa aku ingin menjadi
bagian Churchill’s International
Languange School.
Josh melangkah
keluar lift persis setelah pukul enam. Josh memang sahabatku, meskipun aku
sering merasa ia tidak betul-betul suka kepadaku. Saat kaki kami berjalan
menuju Mother Murphy’s, Josh menyatakan padaku bahwa aku telah menyia-nyiakan
hidupku. Namun demikian Josh merupakan sosok paling dekat dengan teman yang
kumiliki. Banyak yang mengenal diriku jauh lebih lama dan jauh lebih menyukai
dariku. Memang bukan salah mereka untuk bersikap begitu. Aku sempat bertemu
dengan beberapa diantara mereka. Josh bekerja di daerah pusat kota sekarang. Kurasa Josh merasa sesuatu
telah direnggut darinya. Namun kenyataannya tidaklah begitu. Josh memang
berasal dari keluarga yang berada. Mulai usia dua belas tahun, Josh pergi ke
sekolah Home Counties, disana dia selalu diejek karena gaya bicaranya. Orang-orang yang melihat Josh
kemudian tersenyum. Aneh memang. Josh suka padaku. Ia mencoba menyembunyikannya
tapi begitulah kenyataan. Namun selalu ada sesuatu yang mengganjal mengenai
hubunganku dengan Josh. Secara pribadi aku merasa tidak mencuri seseorang dari
orang lain.
Di saat kami
tidak minum teh, kami berjalan kaki sepanjang
City Road dan Upper Street untuk mencari taksi hitam.
Kami sampai keujung Highbury Corner. Meskipun kami sudah meninggalakan daerah
berlampu-lampu terang benderang, aku tahu ada beberapa tempat makan yang
betul-betul baik disekitar sini. Ia menunjuk restoran Cina. The Shanghai Dragon
sama sekali tidak mewah. Kau bisa mencium bau dapur dibalik sebuah pintu dekil
yang terletak diujung ruang tunggu. Joyce
dan George, nama-nama khas Inggris yang suka digunakan oleh orang-orang Kanton.
Ruangan itu dipenuhi seluruh anggota keluarga. Ada George dan Joyce.
Yang kusukai
mengenai mengajar di Churchill’s International
Languange School
adalah kenyataan bahwa murid-muridnya jelas bukan lagi anak-anak. Kadang-kadang
murid-muridku muncul terlambat. Kadang-kadang mereka sama sekali tidak datang.
Mereka menatapku dengan bengong.
Saat aku pulang,
aku mendapati Lena menagis didapur. Seharusnya
itu bukan hal yang mencengangkan bagiku. Ada
beberapa pembantu rumah tangga asing yang bekerja disini dan aku menemukan
beberapa diantara mereka pernah menangis didapur ini.
Kedua orangtuaku
memperlakukan gadis-gadis muda ini dengan sangat baik. Tadinya aku mengira Lena tidak seperti yang lain. Namun mereka yang bertampang
biasa memang selalu cenderung berlebihan dalam menilai kecantikan merasa riku
melihatku, ia mulai menghapus air matanya. Aku membawakan Lena
segelas susu organic kemudian duduk bersamanya dimeja dapur. Aku mengawasinya
saat ia mencicipi sususnya, wajahnya yang cantik merah setelah ia mengumbar emosi,
matanya yang biru itu besar sebab habis menangis. Pagi itu ibuku menunggu
sampai ayahku pergi ke gim, setelah itu ia mengatakan padaku bahwa ia ingin
kita mengadakan pesta ulang tahun untuknya. Ibuku tersenyum dan tampak senang
sekali dengan idenya ini. Kadang-kadang disaat aku berbicara pada ibuku aku
mendapat kesan kami sedang membahas topik yang tidak berhubungan. Ibuku menjadi
pengawas kantin di sebuah sekolah lokal. Ia bekerja di Nelson Mandela High.
Ibuku menyukai keberadaannya di Nelson
Mandela. Ibuku dikenal selalu meletakkan sendok supnya. Ia sudah bekerja di
Nelson Mandela selama hamper dua puluh tahun.
Ketika aku dalam
masa pertumbuhan, ibuku mengalami beberapa kali keguguran. Aku tidak tahu
sampai berapa kali itu terjadi. Tapi setelah aku melihat ibuku untuk suatu
alasan tidak jelas ditangga rumah kecil tempatku dibesarkan, saat aku melihat
hatinya hancur sementara ayahku berusaha menghiburnya. Aku sering
mempertanyakan dimana mereka berada, adik-adikku yang tidak jadi lahir.
Adik-adik yang tidak pernah lahir ini, seakan berwujud seperti ide yang pernah
dimiliki seseorang. Ia mencintai aku, ia juga mencintai ayahku. Tapi seberapa
banyak pun ia mencurahkan cintanya pada kami berdua, aku selalu merasa ia masih
memiliki cukup banyak untuk diberikan pada orang lain. Ayahku jarang sekali
dirumah belakang ini. Pagi-pagi ia pergi ke gin. Dan tatkala sore, ayah
mengitari toko-toko di Covent Garden, Charing
Cross Road, dan Oxford Street. Aku pernah melihatnya
sekali ditoko buku. Nenekku sedang bercerita bahwa ia berusia 87 tahun dan
masih memiliki semua giginya. Kedua orangtuaku dikenal sebagai Mike dan Sandy. Bagiku nama-nama
itu terkesan kuno. Suatu masa di Inggris dengan pub-pub lokal, pesta
dansa, dan piknik di pantai. Masa yang dingin dan serba terbatas degan musim
dingin yang betul-betul dingin. Kau harus memiliki hati yang dingin dan keras
untuk bisa meninggalkan keluargamu, tapi ayahku bukanlah tipe laki-laki yang
dingin dan keras. Lemah, mungkin. Egois itu pasti. Bodoh tidak perlu diragukan,
tapi hatinya tidak dingin dan keras.
Rose sangat
memopesona saat berada di air.
Kami tampak
seperti dua mahluk yang sama sekali berbeda saat berada dibawah permukaan air.
Rose tetap rileks, bak melayang dalam keleluasaan. Aku tidak pernah merasa
nyaman dengan peralatanku, setiap kali membersikan maskerku dari air, dengan
was-wasterus mengecek persediaan udaraku untuk mengetahui dengan pasti berapa
banyak lagi yang tersisa, selalu haus akan udara. Pokoknya aku tidak tampak
bahagia didalam air. Ia sudah belajar menyelam sebelumtiba di Hong
Kong. Sedangkan aku belajar menyelam dari Rose. Kami menikmati
hari-hari yang menyenangkan. Pada hari jumat malam cuacanya masih terang dan
bersih. Kami sudah menggunakan pakaian selam kami. Aku menyeleksi sebuah
tangki, BCD, dan regulator. Dua selang regulator itu mempunyai peran untuk
dimasukan pada mulut. Aku berdiri diburitan kapal sedangkan semua yang lain
sudah didalam air. Hujan turun dengan deras sekarang. Aku jatuh ke air,
tenggelam sesaat, lalu tiba-tiba berada dipermukaan. Maskerku mulai buram. Aku
memakai maskerku dan melihat yang lain sudah mulai bergerak kebawah. Aku
merasakan keberadaan lambung kapal dan para penyelam didekatku. Rose berada
disebelahku, membuat gerakan-gerakan dengan tangannya. Dengan satu tangan aku
menyatukan telunjuk dan jempolku membuat sebuah lingkaran. Jarak penglihatanku
buruk. Aku mengecek sekelilingku, sambil berharap akan melihat tanda-tanda yang
menyakinkan dari bentuk-bentuk manusia meliuk-liuk menembus kegelapan. Ini hari
senin pagi dan murid-muridku sedang membuatku sulit untuk mengendalikan diri.
Zen terkantuk-kantuk di bagian belakang kelas. Imran sibuk membaca. Astrud dan
Vannesa asyik ngobrol. Witold berusaha menghentikan isakannya sementara Yumi
mencoba menghiburnya. Hanya Gen yang melihat kearahku, menunggu sesuatu yang
akan terjadi. Aku berdiri didepan mereka, menunggu kehadiranku secara fisik
disadari. Zeng mulai ngorok. Imran mulai mengetik sesuatu di HPnya. Astrud dan
Vanessa tiba-tiba tertawa. Witold mulai menangis. Yumi merangkul pundaknya. Gen
berpaling. Dari cara mereka semua mengubah posisi duduknya dan menghindari
kontak mata, aku tahu tak seorangpun diantara mereka yang mengerjakan PR.
Biasanya aku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Biasanya mereka akan meminta
saran dan sedikit bercanda denganku, tapi hari ini mereka terlalu takut dan
marah untuk meminta bantuanku. Setelah bel berbunyi mereka semua keluar secepat
mereka bisa. Tidak ada apapun yang bisa mengenai Jackie. Setiap pagi ia datang
untuk bekerja dengan dandanan seperti aku berkencan dengan Rod Steward. Bahkan
di saat sudah menggantinyadengan perangkat kerjanya, Jackie masih tetap nampak
tampil seformal pramugari atau polwan. Kadang-kadang aku melihatnya di dalam
ruang staf, di lorong, atau di sebuah kelas yang kosong. Murid-muridku tidak
seperti Jackie. Murid-muridku tampil apa adanya. Hiroko kembali ke jepang untuk
berhari natal. Berpisah dengannya terasa aneh. Kami berangkulan di pintu
gerbang keberangkatan dan hiroko melambai kearahku terus sampai saat ia menghilang
di balik sekat, sebelum tempat pengecekan paspor.
Aku menekan bel
pintu rumah nenekku tapi ia tidak muncul. Aneh sekali. Aku tahu ia di dalam.
Aku menghambur masuk flat putih kecil itu. Nenekku tidak kelihatan namun aku
langsung melihat seorang laki-laki asing yang menggenggam sebuah foto
berbingkai perak. Dengan segera aku melintasi ruangan itu dan menyergapnya. Ia
menghajarku dari samping, membuatkuterhuyung kearah lemari kecil yang penuh
souvenir. Kemudian nenekku muncul dari dapur kecilnya membawa nampan berisi teh
dan biskuit. Si anak muda dan aku tiba-tiba seperti dilerai.
Saat melihat
Hiroko menungguku di luar bangunan Churchill’s, aku teringat akan apa yang aku
baca di rublik konsultasi mengenai seseorang yang mendominasi dalam suatu
hubungan. Si pengasuh rublik menyimpulkan bahwa biasanya sosok yang mendominasi
biasanya merupakan pihak yang tidak begitu membutuhkan. Tidak ada alasan bagiku
untuk mendominasi Hiroko. Namun Hiroko lebih membutuhkan aku daripada
sebaliknya. Ia gadis yang luar biasa. Ia tidak pernah mempermalukanku dengan
cara lain selain manis. Apa yang salah denganku? Mengapa aku tidak bisa
merasakan bahagia dengan wanita muda ini.
Berita buruk
yang beredar di Churchill,s adalah telah terjadi sekandal seks yang melibatkan
salah seorang guru. Berita baiknya adalah semua itu sama sekali tidak ada
hubungannya denganku. Hamish ditahan karena prilakunya didalam sebuah toilet
umum di Highbury Fields. Singkatnya, Hamish ditahan untuk prilaku tidak sopan
karena pada suatu malam ia menunjukkan minatnya pada seorang yang tadinya ia
sangka juga menaruh minat padanya, tetapi ternyata ia masuk perangkap
kepolisian. “aku khawatir, aku akan kehilangan segalanya”, ujarnya.
Aku kasihan pada
Hamish, karena itu aku tidak menyuarakan apa yang ada di dalam kepalaku. Dan ia
keliru mengenai London.
Tapi kau bebas menentukan hidupmu sendiri, batinku. Kau hanya perlu sedikit
memperhatikan sekelilingmu. Kadang-kadang aku berfikir cinta merupakan kasus
identitas yang keliru. Seperti yang terjadi antara Hiroko dan aku atau seperti
yang terjadi antaraHamish dan partnernya. Yang diinginkan Hamish adalah pergi
ke tempat-tempat umum dan main seks dengan mereka yang namanya mungkin tidak
akan pernah ia tahu.
Selama aku bisa
ingat, nenekku selalu memendam rasa tidak suka yang amat sangat pada dokter.
Tapi kini setelah ia benar-benar berbaring di subuah tempat tidur rumah sakit,
nenekku mulai menunjukan tanda-tanda pikirannya akan berubah.
Saat ibuku,
Joyce Chang dan aku duduk mengelilingi tempat tidurnya, nenekku menceritakan
pada kami tentang mereka yang ditemuinya disini. Ia nampak bahagia setelah
sekian lama, meskipun ada mesin kecil jelek dilantai dekat tempat tidurnya
dengan selang tipis panjang yang disusupkan dibawah gaun rumah sakit putih yang
membuatnya tampak seperti malaikat tua. Sebelah paruh-paruhnya ternyata sudah
putih sama sekali. Pada foto ronsenya, begitu banyak cairan yang seharusnya
tidak ada disana.
Aku tahu nenekku
wanita tua yang tabah dan tegar. Tiba-tiba ia mengoceh dan kami semua menoleh
untuk melihat ayahku yang sedang berdiri salah tingkah di bagian kaki tempat
tidur itu. Ibu dan ayahku tampil lebih seperti kakak-adik daripada sepasang
suami-istri. Dan untuk pertama kalinya aku merasa kasihan kepada ayahku. Ia
memiliki segala yang tadinya ia inginkan, tapi ia tidak tampak bahagia.Tugas PR
pertama Jackie Day adalah menulis apresiasi kritis dari dua puisi: “When You
Are Old and Grey and Full of Sleep” karya WB Yeats dan “To Lucasta, On Going to
the Wars” karya colonel Lovelace. Aku membaca esainya dalam tulisan tangan yang
rapi. Kau merangkum itu dengan baik sekali.
Seorang wanita
muda berdiri dibawah tiang lampu sisi lain jalan. Ia menggenggam seikat bunga.
Mungkin untuk nenekku.
Wajah-wajah di
Churchill’s selalu berganti. Murid-murid baru secara teratur datang di sekolah
itu, penuh harapan dan kekhawatiran. Ada Hiroko dan Gen, dua-duanya melirik ke
arahku melalui tirai rambut mereka yang berkilat berkilauan. Kemudian ada Zeng
dan Witold, dua-duanya berjuang keras melawan kantuk setelah berjam-jam
melayani orang di General Lee’s Tasty Tennesse Kitchen dan Pampas Steak Bar.
Astrud, yang entah memang sengaja ingin menambah berat atau berada diawal masa
kehamilan. Olga, yang duduk persis paling depan, menggigiti penanya, berusaha
keras mengejar ketinggalannya dari yang lain. Dan akhirnya Vanessa, yang
memeriksa kuku-kukunya yang terpelihara rapi. Vanessa duduk dengan memunggungi
pintu kelas, sehingga tidak melihat sosok laki-laki yang wajahnya tiba-tiba
tampak di jendela yang kecil, memeriksa isi ruangannya. Laki-laki tampan
berusia empat puluhan, meski nampak sedikit tidak karuan, seakan sesuatu yang
tidak menyenangkan terjadi padanya. Ada
memar di pipinya dan tangkai kacamatanya hilang sebelah. Matanya bersinar
dibalik kacamatanya yang rusak. Sewaktu membuka pintu, terlihat bahwa lelaki
itu membawa sebuah tas yang di jejal penuh. Perlahan-lahan ia melangkah ke
dalam ruangan kelas. “Aku sudah melakukannya,” ujarnya pada Vanessa. “aku sudah
meninggalkan dia”. Setelah itu mereka berpelukan dan bibir mereka menyatu. Aku
melayangkan pandanganku ke arah murid-muridku.
30 Juni 1997.
malam pengalihan pemerintahan. Malam pemerintahan Inggris mengembalikan Hong Kong kepada pemerintahan Cina. Para
petinggi berada di pelabuhan. Rose dengan setelan Mao. Aku dalam pakaian
Mandarin yang mengingatkan akan anggota staf Istana Kekaisaran lama. Kami
minum-minum, kemudian pindah dari bar yang satu ke yang lain. Dan kami
mempertanyakan bagaimana seharusnya kami bersikap. Apakah kami merayakan
sesuatu atau berkabung? Apakah ini pesta atau acara kematian?. Tidak terasa
adanya suasana gembira disana. Keributan terjadi dimana-mana.
George
mengajariku Tai Chi dalam tiga tahap. Pertama-tama, aku mempelajari gerakannya.
Kemudian aku mencoba menerapkan pernafasan pada gerakan. Dan akhirnya serta
yang paling utama, aku belajar untuk rileks. Saat aku mencoba menjernikan
pikiran serta menyenangkan hati, untuk melupakan kehidupan yang menantiku
diluar batas hamparan yang sempit ini, aku bahkan tidak yakin aku akan
mengerti. Ada gosip
panas lagi The Churchill’s. Lisa Smith mengawasiku bagai burung elang tua
penasaran yang tidak bisa melihat jauh lagi.
Olga dan aku
menyusuri kanal-kanal daerah utara London
untuk melihat rumah-rumah perahu, saat aku merangkul pinggangnya dan merasakan
dengan takjub kelenturan tubuh mudanya. Itu. Kami menjelajahi bagian-bagian
yang lebih rawan dari daerah Hampstread Heath minggu sore itu.
Kaca etalase
Shaghai Dragon penuh dengan bunga dan lampu. Permainan nuansa buah peach,
jeruk, dan bunga narcissus di hangatkan cahaya yang berasal dari
beberapa puluh lampion merah yang diterangi api lilin. Kami berdiri di jalan
menikmati dengan takjub keajaiban kecil di jalan yang sibuk di daerah utara London. Ibuku, nenekku,
Olga dan aku, di bawah hangatnya lampion-lampion yang berwarna merah. Pada
Shanghai Dragon ditempel dua poster merah dengan huruf-huruf Cina dari emas,
lambang kebahagiaan, umur panjang dan kemakmuran. William tiba-tiba muncul di
balik permukaan kaca pintu, yang segera disusul kakaknya, Diana. Setelah itu
muncul orangtua mereka, Harold gemuk dan Doris
yang pemalu, diikuti oleh Joyce dan George. Mereka semua tersenyum senang. “Gong
xi fat choi!” seru keluarga Chang menyambut kami, saat kami melangkah
masuk. “Selamat tahun baru juga untuk kalian!” ibuku tersenyum, meskipun Gong
xi fat choi lebih berarti “Semoga anda sejahtera” daripada sesuatu yang
berhubungan dengan peralihan ke tahun yang baru.
Olga menelpon
aku persis menjelang tenga malam dan menyatakan ia harus ketemu aku. Aku baru
saja mau menggosok gigiku dan pergi tidur, karena itu aku mengusulkan padanya
besok pagi-pagi sekali, di kedai kopi seberang The Churchill’s. Ia mengatakan
harus sekarang juga. Aku berpakaian dan kemudian naik taksi ke Eamon de Velera.
Kami duduk di sebuah mejah pojok dikelilingi oleh para peminum yang sudah
menghabiskan belasan gelas. “Aku sudah menjalani tes” ujarnya. Aku tidak bilang
apa-apa. Aku menunggu, masih sulit bagiku untuk mempercayai ini terjadi kali
ini, dengan gadis ini, wanita ini. Dan bukan istriku. Rose dan aku berusaha
meraih momentum ini, namun kami tidak pernah berhasil. Apakah memang mereka
yang menginginkan bayi tidak akan memperolehnya, sedangkan mereka yang tidak
menginginkannya justru mendapatkannya. Begitulah kenyataannya. “aku hamil”,
ujar Olga, wanita yang bukan Rose ini, sambil tertawa kecil bahwa sama seperti
aku , ia juga tidak bisa mempercayai kenyataan ini. “aku akan mempunyai bayi”.
Kami membiarkan fakta ini mengendap sesaat.
Pada tahun baru Cina Olga dan aku kembali ke
flatku, menemukan bahwa wadah gula
suvenir dari Hong Kong, tempat aku
menyimpan persediaan kondomku sudah kosong. Dan kami memutuskan untuk mengambil
resiko itu. Olga mulai terisak dan aku mulai mengulurkan tangan untuk
meraihnya. “aku akan mendampingimu”, ujarku. Ia menarik tangannya. “”kau gila?
Aku tidak mau punya bayi denganmu. Umurku dua puluh sedangkan kau hampir empat
puluh. Kau cuma guru di salah satu sekolah bahasa kecil. Aku masih punya masa
depan yang membentang di depan aku. Pacarku akan membunuhku.” Jadi setelah itu
kami tidak mendiskusikan soal si bayi lagi. Kami hanya membicarakan tentang
aborsi. Kemudian aku mengantarkannya kembali ke flatnya. Saat aku mau mencium
pipinya, ia berpaling. Ia menghilang ke
dalam bangunan flatnya. Kami bahkan tidak saling mengucapkan selamat malam.
Pada saat keberadaan keajaiban kecil ini, keberadaan si bayi yang sedang tumbuh
di dalam dirinya. Kami belum pernah seasing ini terhadap satu sama lain.
Pertama-tama Rose, kemudian bayi ini. Aku mencoba merenungkan semua ini. Aku merasa, aku sedang
melepas diriku dari tanggung jawab pada suatu tindak pembunuhan.
Aku bisa
mengerti mengapa ia tidak mau punya bayi denganku. Aku tidak begitu bodoh
sehingga tidak bisa mengerti itu. Ia belum berbentuk bayi, batinku berulang
kali. Ia akan menjadi bayi, andaikata kami menyediakan ruangan baginya dalam
kehidupan kami yang serba kacau ini. Namun inilah yang sedang kami lakukan.
Kami akan membuangnya. Kami telah membawa nyawa yang tidak diinginkan dalam
kehidupan ini. Kami sudah membuat perjanjian dengan klinik. Aku tahu itu
satu-satunya cara. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama.hubungan kami tidak
mungkin akan berhasil. Si bayi seharusnya berterima kasih pada kami. Saat aku
menjemput olga di klinik, aku mendapati aku menyukainya lebih daripada sebelumnya.
Ia tampak begitu muda, mpucat, dan lelah, seakan ia baru saja melewati sesuatu
yang akan terus membekas dalam dirinya, seumur hidupnya, sesuatu yang akan
mengubah cara menilai kehidupan. Dan aku tidak ingin berpisah darinya. “Jangan
kembali ke flatmu. Kembalilah ke tempatku. Kau bisa memiliki kamar sendiri, aku
akan tidur di sofa. Sampai kau merasa lebih baik”. Aku bisa melihat ia tidak
terlalu menyukai ide itu. Aku melongok ke dalam setelah beberapa lama dan
melihat ia tidur, wajahnya nyaris sepucat bantal yang digunakannya.
Keesokan paginya
aku meninggalkan Olga dalam keadaan tidur untuk pergi ke toko buku lokal untuk
membeli hadiah bagi Plum. Persis di dekat
pintu masuk toko, aku menemukan display yang mantap dari Smell the
Fear, He-bitch. Aku mengambil satu dan mengamati sampulnya yang bergambar
seorang laki-laki botak bertubuh besar yang setengah telanjang tampak
mengertakkan giginya. Ia nampak seperti binaragawan sedang mempromosikan
pakaian dalam. Aku membalik halaman-halamannya yang penuh gambar. Kebanyakan
memperlihatkan The Slab sedang menghajar orang bertubuh besar lain dalam
setelan Lycra ketat atau setidaknya berpura-pura. Namun ada satu bagian
menjelang akhir buku itu tempat The Slab berpose dengan anak-anak kecil dari
segala bangsa dan warna kulit. Dalam huruf-huruf besar yang mengisi foto itu
The Slab menyatakan filosofinya. Pentingnya kerja sosial, kebutuhan memerangi
rasisme, moralitas untuk membina hubungan saat masa pertikaian berdarah sudah
berlalu. Ia menanamkan itu hal yang manusiawi. The Slab bilang bersikaplah
manusiawi, kalau tidak aku akan menghajar bokongmu ke pohon derita.
Saat sampai di
rumah kembali aku mendapati Olga sudah pergi. Kadang-kadang sudah terlambat
bagiku untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat manusiawi. Dan aku mulai merenung tentang
tahun baru Cina, Festival musim semi, dan betapa aku menyukai apa yang aku
anggap sebagai keharmonisan dalam keluarga Chang. Keluargaku sendiri bagaikan
puing-puing yang berserakan.
Tapi aku pernah
memiliki keluarga, dan kami pernah memiliki rencana. Kami akan memiliki
anak-anak dan segalanya. Itulah yang kami inginkan, Rose dan aku.
0 komentar:
Posting Komentar