Ringkasan novel Untuk Kukasihi: One For My Baby karya Tony Parsons

Judul         : One For my Baby (Untuk Kukasihi)
Pengarang : Tony Parsons
Tebal        : 568


Untuk Kukasihi: One For My Baby

Dari daerah Kanton, kurasa, karena meskipun pemegang paspor Inggris kuno berwarna biru dan suka mengaku dirinya oang Inggris, ia lahir di Hong Kong dan kadang-kadang kau bisa melihat semua hal penting yang di yakininya sudah terbentuk lama sekali dan berasal dari suatu tempat yang jauh. Sama seperti makna makan bubur dingin itu.
Makan bubur dingin itu berarti mengerjakan sesuatu begitu lama sampai ketika kau pulang tidak ada lagi yang bisa dimakan kecuali bubur dingin. Untuk menjadi mahir dalam suatu hal, kau harus makan bubur dingin itu, muridku. Aku mencoba betul-betul mengerti. Namun aku tidak bisa berbuat lain, entah mengapa aku merasa makan bubur dingin punya suatu arti yang lain. Entah mengapa dalam otakku yang bebal aku mengartikan makan bubur dingin sebagai di dalam suatu masa yang susah. Yang dia maksudkan adalah merelakan kenyamanan dan kesenangan untuk suatu tujuan yang lebih baik dan  menunda imbalan untuk suatu tujuan yang lebih berarti di masa mendatang. Makan bubur dingin sekarang supaya kau akan mendapatkan suatu yang lebih baik di masa mendatang.
Makan bubur dingin bagiku itu berarti menjalan suatu yang harus di jalani. Lebih dari itu, ungkapan tersebut berarti kehilangan seseorang. Seperti aku merasa kehilangan dia. Namun dia sudah tiada dan takkan pernah kembali. Momentum yang sempurna itu, saat ia membuka matanya dan tersenyum kepadaku, tapi sekarang aku tak kan dapat melihatnya lagi. Kau bisa menghabiskan seluru waktumu di dunia ini, tapi takkan menemukan lagi seseorang yang mengisi kekosongan yang pernah di tinggalkannya.karena bagaimana mungkin kau bisa menemukan pengganti untuk cinta sejatimu? Namun mau tak mau bginilah kenyataan.
Sekali hari aku ingin menelponnya. Aku memang tidak pernah sampai menelpon nomernya, meskipun selalu hampir sampai melakukannya. Aku khawatir suatu hari aku sungguh-sungguh menelponnya di nomernya yang lama dan orang lain yang mengangkatnya. Begitu aku merasa senang, sedih dan cemas, biasanya tiba-tiba aku merasa butuh bicara dengannya. Di saat kami masih bersama. Ia sudah pergi dan aku tahu ia sudah pergi. Jadi sekarang aku tahu apa yang sekarang harus aku lakukan. Aku harus makan bubur dingin, dan berusaha untuk mengatasi perasaan yang tidak tertahankan untuk meraih pesawat telepon itu.


Ada yang salah dengan jantungku. Aku tidak mengerti. Aku baru berlari di taman selama sepuluh menit namun otot-otot kakiku sudah terasa pegal, nafasku terengah-engah dan jantungku terasa memenuhi rongga dadaku bak seporsi besar kebab yang belum dicerna.
Di hamparan rumput tempat orang dilarang main bola, tampak seorang laki-laki Cina, umurnya pasti sekitar seusia ayahku, hampir enam puluh, tapi ia kelihatan bugar dan entah kenapa awet muda. Si pak tua itu memperhatikanku saat aku dengan nafas tersengal-sengal menuju kearahnya. Aku tersentak sesaat. Aku pernah melihat wajah seperti itu. Waktu aku tinggal di Hong Kong, aku melihat wajah itu bekerja di Star Ferry, melihatnya mengemudikan taksi di Kowloon, aku melihatnya menerawang sedih di arena pacuan kuda Happy Valley. Aku pernah melihatnya wajah itu mendampingi seorang cucu bersorot mata lembut yang sedang mengerjakan PR-nya dibagian belakang salah satu tokoh kecil, aku melihatnya menyerumput bakmi di sebuah warung daipaidong, aku melihatnya penuh debu, membangun gedung-gedung pencakar langit baru yang mega di atas puing-puing tanah yang sudah di bebaskan.

Wajah itu betul-betul tak asing bagiku. Wajah tanpa ekspresi, acuh tak acuh, dan tidak peduli sama sekali menanggapi keberadaanku. Wajah itu tidak peduli apakah aku hidup atau mati. Saat aku terengah-engah pandangan kami bertemu. Kemudian ia mengatakan sesuatu. Satu patah kata, entah kenapa kedengarannya seperti “Apes”.
Hong Kong membuat kita merasa spesial. Kita menatap kemilau lampu-lampu, uang yang banyak sekali, orang-orang yang tinggal di daerah pendudukan Inggris yang kecil dilaut Cina selatan itu, dan kita merasa spesial dengan cara yang takkan pernah kita rasakan di London, Liverpool, dan Edinburgh.
Aku mengajar bahasa inggris di Double Fortune Laguange School pada nyonya-nyonya Cina kaya dan trendi yang ingin bisa berbicara pada para pelayan restoran bermata bundar di dalam bahasa asal mereka. Aku memang sedikit lain dengan kolega-kolegaku. Kesannya seperti semua guru lain di Double Fortune Laguange School. Moto kami: “Belajar bahasa Inggris dengan mudah hanya dalam dua tahun”.
Aku berada di Hong Kong karena merasa jenuh di London. Tadinya aku mengajar Sastra Inggris di sebuah sekolah di tengah kota selama lima tahun. Situasinya memang tidak mudah. Apakah The Princess Diana Coomprehensive School untuk anak laki-laki terdengar asing di telinga anda. Lokasinya di sebelah utara London, di sana guru pertukarannya memang di temukan dalam keadaaan terjepit diantara perangkatnya sendiri. Walaupun begitu ternyata orangtua di sana jauh lebih menakutkan daripada anak-anak mereka. Pada malam-malam pertemuan di The Princess Diana, aku akan mendapati diriku berhadapan dengan orang-orang berotot dengan tampang sangar dan tato seram. Dan itu baru ibu-ibunya. Aku jenuh menghadapi semua itu. Jenuh dan capek mencoba menjelaskan kehebatan dan pesona bahasa Inggris pada anak-anak yang menuangkan kata-kata “Fuck”, “Fucking” dan “Fucked” dalam kalimat-kalimat mereka seperti saus tomat dalam Humberger.
Hong Kong membuat aku mesara seakan negeriku telah melakukan sesuatu yang penting dan unik. Sesuatu yang menajubkan dan berani. Dan ketika aku melihat semua lampu itu, aku merasa semua itu seakan sedikit banyak merupakan bagian dari diriku.
Si pak tua Cina itu bukan satu-satunya tanda adanya kehidupan di sana. Di sisi lain taman itu terdapat sejumlah tukang nongkrong sabtu malam, sekelompok remaja yang jelas belum kembali pulang ke rumah. Begitu melihat aku dengan tersengal-sengal menuju kearah mereka, mereka bertukar pandang sambil nyengir dan aku membatin, apa yang mereka tertawakan. Aku langsung tahu jawabannya. Mereka sedang menertawakan laki-laki gemuk berwajah merah yang terengah-engah dalam pakaian trainer baru dan jelas tidak memiliki tujuan tertentu di sabtu malam itu dan tak ada satu orang pun yang menemaninya ke sana. Setelah itu untuk waktu yang lama aku cuma duduk disana sambil memutar-mutar cincin kawin di jari tangan kiriku, dengan perasaan sangat kesepian. Aku berkenalan dengannya di atas Star Ferry, feri tua hijau-putih dengan dek bertingkat yang melayani penyebrangan antara Kowloon yang yang terletak di ujung daratan Cina dengan kepulauan
Hong Kong.
Aku memang bukan tipe yang menguasai seni langsung sambar, dan itu tidak terjadi dalam perkenalan dengan Rose. Tapi di atas Ferry lah aku pertama kalinya melihat Rose, berusaha menerobos pintu putar dengan membawa dus Karton besar, yang kemudian ia tumpu di pinggulnya saat menjejalkan beberapa koin ke dalam celah mesin otomat. Rambutnya hitam sehitam orang Cina, namun kulitnya sangat putih, seakan dia baru saja tiba dari satu negeri yang hujannya tak pernah berhenti. Ia mengenakkan setelan blazer sederhana, namun dus karton besar itu membuatnya tampak seakan ia bekerja di salah satu gang pasar di atas Sheung Wan, sebelah barat daerah Central.
Tangga feri diturunkan dan orang-orang mulai berbondong-bondong menaiki Star Ferry dengan gaya khas daerah Kanton. Aku mengawasi perjuangannya dengan dus kartonnya. Di saat ia tersenyum buru-buru untuk mengucapkan maaf setelah menghantam punggung seorang pembisnis Cina dengan dusnya. Aku mendapat tempat duduk. Ia berdiri di dekatku, tersenyum sendiri sambil merangkul dusnya.
Perjalanan antara Kowloon dan kepulauan Hong Kong itu hanya memakan waktu tujuh menit. Aku berdiri sambil berkata “Maaf anda mau duduk?”. Ia Cuma menatapku. Tadinya aku mau mengira bahwa ia orang Inggris atau Amerika. Tapi sekarang aku melihat dari rambutnya, matanya dan pipinya, aku beranggapan jika ia berasal dari Mediterania. Dusnya berisi penuh dengan selembaran amplok manila, dan dokumen-dokumen dengan segel yang bewarna merah menyalah. Mungkin ia seorang pengacara dan mungkin ia hanya mau berbicara dengan mereka yang menggunakan jas dan memiliki penghasilan enam digit. Aku baru akan duduk lagi ketika seorang laki-laki Cina tua berkemeja nilon dengan selembar Koran pacuan kuda mendorongku dan langsung menjatuhkan dirinya di tempat dudukku. Aku menatapnya dengan bengong saat ia membuka korannya dan mulai mempelajari kuda-kuda mana yang unggul di Happy Valley.
“itulah yang terjadi” ujar Rose sambil tertawa. “kalau anda dapat tempat, sebaiknya anda tetap duduk”.
Star Ferry merapat ke dermaga. Tangga feri di turunkan orang-orang segera naik kedarat. Kemudian ia tidak kelihatan lagi, terbawa arus orang-orang Kanton dengan dus kartonnya yang penuh dokumen-dokumen  menuju daerah dermaga dan setelah itu distrik bisnis daerah Central. Aku berusaha mencarinya diantara orang-orang di atas Star Ferry pada keesokan harinya, dan pada hari berikutnya, dan hari setelah itu, dengan harapan dapat tiba-tiba melihatnya tersenyum pada seseorang yang ia langgar dengan sebuah dus besar berisi dokumen-dokumen hukum.
 Saat itu hari minggu malam dan bar yang terletak dilantai teratas Hotel Mandarin itu penuh sesak dengan orang-orang berisik. Sebenarnya aku tidak mampu minum-minum disini menggunakan apa yang diberikan padaku oleh Double Fortune Language School. Begitu tentara pembebasan rakyat bergerak masuk, kau akan melihat semua yang ada di Central bergegas ke bandara. Ia bicara dalam nada yang membuatku merinding, penuh gaya seakan terdidikdan memiliki hak istimewah untuk mengeluarkan kata-kata bodoh yang diucapkan dengan rasa percaya diri. “kembalikan tempat ini kepada orang kasar-kasar itu, kau tinggal melihat mereka membunuh si bebek bertelur emas”, ujarnya. Aku menoleh untuk melihat tampangnya. Laki-laki itu duduk didekat sebuah jendela dengan seorang gadis, yang mencoba membuatnya terkesan. Si sok berotot rupanya tidak berupaya menjaga volume suaranya. Si sok berotot itu mengangkat wajahnya kearahku. Dia tampak bersinar. Si sok berotot kelihatan pirang sedangkan gadis itu lebih gelap. “apa sahutnya kasar”, ujarnya. “ lihat dirimu”, ujarku. “tenang Josh,”ujar Rose, sambil menyentuh lengannya. Seperti apapun ia nampak kehabisan kata-kata. “ah sudahlah kalian”, ujar Rose menengahi. Setelah itu aku mengalihkan pandanganku kearah Josh. Aku bahkan berjabatan tangan dengan si Josh. Rose tersenyum padaku. Beginilah awalnya
Seharusnya kami tidak cocok. Ia memiliki karir. Di usia 25, Rose sudah meraih sukses. Ia tinggal di apartemen kecil yang indah di Conduit Road, Upper Mid-Level, dibawah naungan puncak Victoria-surga kaum ekspat. Tempat kami termasuk di salah satu sarang sempit dengan diding-dinding yang begitu tipisnya. Rose tidak terbawa arus datang ke Hong Kong, tidak seperti aku. Sementara aku berkulat untuk membayar uang sewa, dibalik pintu-pintu tertutup daerah Central, roda perekonomian terus bergulir maju. Rose adalah salah satu diantara mereka. Aku benar-benar tidak punya bayangan dengan apa yang ia kerjakan. Hampir semua koleganya kaum muda yang suka berpesta dibar lantai atas Hotel Mandarin pada malam. Mereka melihat sebuah papan nama untuk Wang King Road, dan menjadikannya bahan lelucon tentang masa tinggal mereka, seakan keberadaan Hong Kong hanya sebagai ajang hiburan mereka. Aku juga tertawa ketika melihat iklan My Piss untuk pertama kalinya. Rose memang tidak seperti kebanyakan dari mereka. Aku tidak bermaksud menyamakan dirinya dengan ibu Teresa yang membawa sebuah tas kantor. Ia mencintai Hong Kong. Ia ingin mengetahui lebih banyak tentang Hong Kong. Rose mengajakku menjajaki secara lebih mendalam. Ia mengajakku ke sebuah kelenteng dibelakang daerah Central, disana segalanya bernuansa merah dan emas dan udarahnya pengap karena asap dupa wangi, sementara nyonya-nyonya tua kecil membakar uang-uangan dalam gentong-gentong batu yang besar. “simbol umur panjang”, ujar Rose. Dihari-hari yang kami anggap tak berakhir itu, ia mengajakku ketempat-tempat yang takkan pernah kudatangi tanpa dirinya. Aku menemuinya sepulang kerja. Kemudian kami naik Star Ferry ke Kowloon untuk nonton di sebuah bioskop. Namun ia toh suka melakukan semua yang khas Inggris. Memang menyenangkan melakukan hal-hal yang khas Inggris. Cricket, rugby, sandwich, yang pinggirannya dipotong.
Di kawasan asia kami menemukan Hong Kong. Ia cantik, cerdas, dan baik. Ia penuh rasa ingin tahu dan tegar. Rose memihakku dengan cara yang belum pernah dilakukan seorangpun. Dan dengan mencintaiku, ia melepaskan semua belengguku, sehingga akau bebas menjadi diriku. Aku pernah memiliki Impian di London, impian untuk mencoba menjadi penulis, yang tidak pernah aku jajaki dengan berani. Karena itulah segalanya menjadi sulit sekarang. Si pak tua itu baru saja mengahiri tarian gerak lambatnya. Saat aku lewat didepannya, untuk kedua kalinya, dalam tempo yang lebih menyeret langkah-langkahku daripada berlari. Sekarang ia menatapku seakan sudah pernah melihat tampangku ribuan kali. Ia menyapaku lagi dan kali ini aku bisa menagkap dengan jelas apa yang dikatakannya. Kemudian ia mengalihkan perhatian dariku. Karena itu aku mencobanya saat aku lari keluar dari taman itu. Sambil mengarungi harapan daun daun kering terakhir untuk tahun ini, aku harus mencoba mengambil nafasku sekali lagi. Tidak mudah memang. Seperti kau tahu, Rose pernah menjadi alasanku bernafas.
Dimana suatu impian berawal? Impianku untuk menjadi seorang penulis berawal dari masa kanak-kanakku. Ayahku adalah reporter olahraga disebuah harian nasional. Ayahku bukan reporter keluarga yang terkenal.ayahku tidak pernah benar-benar menyukai prosedur pemberitaan. Ayahku bukan reporter olahraga yang hebat. Tapi ayahku tetap pahlawanku. Kemudian ia menulis buku. Kau mungkin tahu, bahkan sudah membacanya. Karena Oranges For Christmas A Childhood Memoir merupakan salah satu buku yang begitu merasuki perasaan, seakan tidak terhenti terjual.
Aku sedang menjalani pendidikan di sekolah guru saat buku ayahku diluncurkan. Aku tahu bahwa itu bukan hal yang mudah, butuh waktu bertahun-tahun untuk menulis Oranges For Christmas. Namun suatu keberhasilan muncul begitu saja. Oranges For Christmas A Childhood Memoir memang buku yang bagus. Buku ini tentang masa kanak-kanak ayahku di East End mengenai seberapa miskin tapi bahagianya mereka, mengenai seberapa senangnya ayahku beserta pasukan yang berupa kakak adiknya diantara mereka. Oranges For Christmas penuh dengan bocah berandalan bermuka kotor yang menikmati berburuan tikus diantara puing-puing bekas pengeboman, sementara tetangga-tetangga mereka menjadi k0orban serangan udara Luftwaffe. Dan itu memang ironis, karena Oranges For Christmas seperti bom yang dijatuhkan Hitler bagi keluarga ayahku. Kakak perempuan tertua ayahku, Autie Janet, tidak menghargai ide bahwa ayahku mengungkapkan pada dunia tentang saat ayah mereka memergoki dirinya mengencani GI-serdadu Amerika, sewaktu terjadinya pemadaman. Adik laki-laki ayahku, Reg, juga sempat mencak-mencak begitu membaca Oranges For Christmas. Kemudian masih ada Uncle Pete, seorang remaja di dalam buku itu, yang ikut berkecimpung dalam perdagangan dipasar gelap dan banyak membuat ibu rumah tangga muda tanpa stoking, yang memiliki suami digaris depan melakukan apa yang disebut Pete “main asyik-asyikan”. Auntie Janet yang menjadi pelampiasan nafsu seorang serdadu Amerika muda yang akan berangkat kepantai Normandia. Dan gara-gara Oranges For Christmas, semua orang menyukai ayahku. Selain saudara-saudaranya sendiri.
Di saat kembali setelah tinggal selama beberapa waktu diluar negeri, kau akan melihat negeri asalmu dengan mata seorang musafir yang menjelajahi waktu. Aku hanya pergi selama dua tahun, lebih sedikit, mulai dari musim semi tahun 1996 sampai musim panas 1998. kemudian ternyata perasaan sulit orientasi yang kualami ini tidak selamanya berhubungan dengan Rose. Aku merasakan itu di saat duduk di belakang kemudi mobil ayahku, melihat Koran, makan bersama kedua orangtuaku. Semuanya terasa sedikit janggal. Di mulai dengan adanya kaum pengungsi di Euston Road. Sewaktu aku berangkat, belum ada seorang pengungsipun di Euston Road. Semua itu memang baru. Semua itu sepertinya tidak masuk akal bagiku. Tempat asalku memang masih tampak seperti dulu, dengan cara mencemaskan. Kadang-kadang aku merasa seperti  bgerada di suatu tempat yang lain.
Sementara ini aku tinggal bersama kedua orangtuaku. Ini semua hanya untuk sementara. Dan aku tahu seharusnya aku mencoba melanjutkanhidupku. Tapi kalau kau percaya kau bisa mengenali seseorang yang tadinya belum pernah bertemu denganmu. Mereka memiliki rumah yang besar sekarang. Saat aku tumbuh dewasa dan ayahku masih seorang reporter olahraga. Kini ayahku sedang mencoba untuk menulis kelanjutan buku Oranges For Christmas, tentang bagaimana keberadaan keluarga yang benar-benar miskin tapi amat bahagia dimasa persis setelah berakhirnya Perang Dunia II. Aku tahu bahwa si pak tua cemas mengenai diriku. Kedua orangtuaku hanya mengharapkan yang terbaik untukku, namun mereka selalu mempermasalahkan sikapku untuk tidak dapat melupakan Rose, tidak dapat mengatasinya dan juga tidak dapat melanjutkan hidupku. Aku mencintai orangtuaku namun mereka menganggapku gemas. Ayah dan ibuku menganggap aku tidak waras karena aku tidak dapat melupakan Rose. Aku merasa ingin bertanya dengan mereka, bagaimana jika memang aku tidak waras? Aku lebih merupakan tipe pecinta Sinatra. Tadinya aku mengira lagu-lagu ini tentang kebersamaanku dengan kakekku. Kadang-kadang kakekku dan aku melihat Sinatra dalam sqalah satu film. Aku tumbuh dewasa dengan mencintai Sinatra. Mendengar Sinatra membuat aku teringat akan duduk dipangkuan kakekku.
Ayahku selalu berusaha mengalihkan minatku ke Metown. Lagu-lagu yang yang dimainkan ayahku untukku selalu berhubungan dengan masa muda, sedangkan lagu-lagu yang dimainkan kakekku untukku adalah berhubungan dengan hidup.
Ayahku dan aku memasuki ruang keluarga tempat nenekku sedang duduk didalam sofa favoritnya. Melalui jendela panjang dibagian belakan ruangan itu, aku bisa melihat ibuku dikebun, menyapu daun-daun yang berguguran. Ia menoleh padaku dan tersenyum. Terdengar pintu depan dibanting seseorang. Suara bantingan pintu itu membuat nenekku terbangun.
Aku berjalan-jalan diseputar daerah Chinatown. Saat kembali ke London, itulah yang aku lakukan sepanjang hari. Dengan memasuki Chinatown melalui salah satu dari tiga jalan utamanya Wardour Street disebelah barat, Macclesfield Street diutara, New Court ditimur. Hanya dalam waktu beberapa menit rasanya aku kembali ke Hong Kong. Deretan bebek di etalase-etalase, gadis-gadis cantik dengan rambut mengkilat. Chinatown merupakan salah satu tempat yang membuatku bahagia. Disana ada toko-toko, swalayan, dan tentu saja berbagai restoran. Saat aku secara acak menjelajahi jalan-jalan di Chinatown, sebuah puisi melintas dalam ingatanku. “Mandalay” mengisahkan seorang veteran Inggris yang sedang berkelana diseputar kota London. “Mandalay” memang tidak begitu berarti bagi murid-muridku yang bertubuh kurus dan pucat, dengan perangkat modern dan seringai mengejek mereka.
Aku lebih suka pergi ke Chinatown pagi-pagi. Saat itulah yang paling aku sukai, saat yang ada disana hanyalah orang-orang Cina yang bersiap-siap akan menghadapi kesibukan dihari itu. Aku selalu makan siang disana. Kadang-kadang aku makan lebih siang, mungkin semangkuk bakmi kuah. Kau bisa makan kapan saja di Chinatown.
Sejak aku tinggal di Hong Kong, aku menjadi sangat suka sekali pada acara minum teh diwaktu sore. Menurutnya acara minum teh diwaktu sore merupakan saat menikmati makan yang paling menyenangkan, karena merupakan satu-satunya kesempatan makan saat seharusnya kau bekerja. Rose selalu mengatakan hal-hal seperti itu, hal-hal yang membuat apa yang kau rasakan sebetulnya bisa dimaklumi.
Ada sebuah hotel keren dekat Bond Street, tempat mereka mmenyajikan acara teh sore. Pelayannya ramah. Di dekat stasiun bawah tanah ada beberapa orang asing muda yang bersandar pada dinding dengan gaya  pejalan kaki yang sedang bosan. Ada seorang gadis asia yang rambutnya dicat pirang dan seorang anak muda yang berasal dari bagian yang lebih panas di daerah Mediterania dengan kumis tipis dan cabang yang meruncing. Mereka sama-sama membawa setumpuk selembaran yang mereka bagi-bagikan tanpa gairah pada orang-orang yang lewat, sambil ngobrol dengan bahasa Inggris yang jelek. Aku menerima selembaran. Selembaran itu diberi corak bendera Inggris dan di bagian dalamnya ada pinggiran lain yang terdiri atas bendera-bendera dunia. Di dekat tulisan Churchill’s International Languange School terdapat gambaran siluet laki-laki gemuk dan gundul yang menampilkan entah Alfred Hitchcock atau mungkin Winston Churchill. Siluet itu dibuat seseorang dengan bakat artistic seadanya. Namun aku mendapati diriku tidak bisa membuang selembaran ini. Aku tidak tahu. Sepertinya cukup menjanjikan.
Kami tidak pernah berada terlalu jauh dari daerah perairan di Hong Kong. Mulai dari kafe kecil di Victoria Peak sampai diruang minum teh di hotel Peninsula. Dengan menamakan sampan yang bergambar. Nyatanya angkutan ini merupakan sarana angkutan bermotor. Sampan itu dimaksudkan sebagai semacam fasilitas. Terakhir kali kami menggunakan sampan ini, kami berlayar kesebuah pulau kecil. Dalam perjalanan kembali kami akan terkantuk-kantuk di dek. Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, namun saat terbangun posisi matahari sudah berubah. Kemudian Rose berdiri tepat diatasku, sambil tersenyum. Sambil menempatkan kakinya di masing-masing sisi tubuhku, dengan hati-hati dia mengatur berdirinya sedemikian rupa, sehingga kepalanya menutupi matahari. Untuk waktu yang lama kita sama-sama tidak bergerak. Kemudian ia memindahkan kakinya.
Aku sudah melewati pintu Churchill’s International Languange School. Pintu masuk itu terletak diantara sebuah toko jins lama dan sebuah Coffe shop yang masih baru. Churcill,s International Languange School menempati seluruh lantai sebuah bangunan yang sepertinya semakin dalam semakin besar. Churchill’s terkesantempat yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan Princess Diana maupun Double Fortune. Tempat ini tidak memiliki kesan angker.
Aku tidak mengungkapkan pada Lisa Smith bahwa mengajar sering membuatku mual. Aku menjaga sikapku, menanyakan beberapa pertanyaan mengenai tunjangan serta persyaratan-persyaratan kerja. Tapi aku sudah tahu bahwa aku ingin menjadi bagian Churchill’s International Languange School.
Josh melangkah keluar lift persis setelah pukul enam. Josh memang sahabatku, meskipun aku sering merasa ia tidak betul-betul suka kepadaku. Saat kaki kami berjalan menuju Mother Murphy’s, Josh menyatakan padaku bahwa aku telah menyia-nyiakan hidupku. Namun demikian Josh merupakan sosok paling dekat dengan teman yang kumiliki. Banyak yang mengenal diriku jauh lebih lama dan jauh lebih menyukai dariku. Memang bukan salah mereka untuk bersikap begitu. Aku sempat bertemu dengan beberapa diantara mereka. Josh bekerja di daerah pusat kota sekarang. Kurasa Josh merasa sesuatu telah direnggut darinya. Namun kenyataannya tidaklah begitu. Josh memang berasal dari keluarga yang berada. Mulai usia dua belas tahun, Josh pergi ke sekolah Home Counties, disana dia selalu diejek karena gaya bicaranya. Orang-orang yang melihat Josh kemudian tersenyum. Aneh memang. Josh suka padaku. Ia mencoba menyembunyikannya tapi begitulah kenyataan. Namun selalu ada sesuatu yang mengganjal mengenai hubunganku dengan Josh. Secara pribadi aku merasa tidak mencuri seseorang dari orang lain.
Di saat kami tidak minum teh, kami berjalan kaki sepanjang City Road dan Upper Street untuk mencari taksi hitam. Kami sampai keujung Highbury Corner. Meskipun kami sudah meninggalakan daerah berlampu-lampu terang benderang, aku tahu ada beberapa tempat makan yang betul-betul baik disekitar sini. Ia menunjuk restoran Cina. The Shanghai Dragon sama sekali tidak mewah. Kau bisa mencium bau dapur dibalik sebuah pintu dekil yang terletak diujung  ruang tunggu. Joyce dan George, nama-nama khas Inggris yang suka digunakan oleh orang-orang Kanton. Ruangan itu dipenuhi seluruh anggota keluarga. Ada George dan Joyce.
Yang kusukai mengenai mengajar di Churchill’s International Languange School adalah kenyataan bahwa murid-muridnya jelas bukan lagi anak-anak. Kadang-kadang murid-muridku muncul terlambat. Kadang-kadang mereka sama sekali tidak datang. Mereka menatapku dengan bengong.
Saat aku pulang, aku mendapati Lena menagis didapur. Seharusnya itu bukan hal yang mencengangkan bagiku. Ada beberapa pembantu rumah tangga asing yang bekerja disini dan aku menemukan beberapa diantara mereka pernah menangis didapur ini.
Kedua orangtuaku memperlakukan gadis-gadis muda ini dengan sangat baik. Tadinya aku mengira Lena tidak seperti yang lain. Namun mereka yang bertampang biasa memang selalu cenderung berlebihan dalam menilai kecantikan merasa riku melihatku, ia mulai menghapus air matanya. Aku membawakan Lena segelas susu organic kemudian duduk bersamanya dimeja dapur. Aku mengawasinya saat ia mencicipi sususnya, wajahnya yang cantik merah setelah ia mengumbar emosi, matanya yang biru itu besar sebab habis menangis. Pagi itu ibuku menunggu sampai ayahku pergi ke gim, setelah itu ia mengatakan padaku bahwa ia ingin kita mengadakan pesta ulang tahun untuknya. Ibuku tersenyum dan tampak senang sekali dengan idenya ini. Kadang-kadang disaat aku berbicara pada ibuku aku mendapat kesan kami sedang membahas topik yang tidak berhubungan. Ibuku menjadi pengawas kantin di sebuah sekolah lokal. Ia bekerja di Nelson Mandela High. Ibuku menyukai keberadaannya di  Nelson Mandela. Ibuku dikenal selalu meletakkan sendok supnya. Ia sudah bekerja di Nelson Mandela selama hamper dua puluh tahun.
Ketika aku dalam masa pertumbuhan, ibuku mengalami beberapa kali keguguran. Aku tidak tahu sampai berapa kali itu terjadi. Tapi setelah aku melihat ibuku untuk suatu alasan tidak jelas ditangga rumah kecil tempatku dibesarkan, saat aku melihat hatinya hancur sementara ayahku berusaha menghiburnya. Aku sering mempertanyakan dimana mereka berada, adik-adikku yang tidak jadi lahir. Adik-adik yang tidak pernah lahir ini, seakan berwujud seperti ide yang pernah dimiliki seseorang. Ia mencintai aku, ia juga mencintai ayahku. Tapi seberapa banyak pun ia mencurahkan cintanya pada kami berdua, aku selalu merasa ia masih memiliki cukup banyak untuk diberikan pada orang lain. Ayahku jarang sekali dirumah belakang ini. Pagi-pagi ia pergi ke gin. Dan tatkala sore, ayah mengitari toko-toko di Covent Garden, Charing Cross Road, dan Oxford Street. Aku pernah melihatnya sekali ditoko buku. Nenekku sedang bercerita bahwa ia berusia 87 tahun dan masih memiliki semua giginya. Kedua orangtuaku dikenal sebagai Mike dan Sandy. Bagiku nama-nama itu terkesan kuno. Suatu masa di Inggris dengan pub-pub lokal, pesta dansa, dan piknik di pantai. Masa yang dingin dan serba terbatas degan musim dingin yang betul-betul dingin. Kau harus memiliki hati yang dingin dan keras untuk bisa meninggalkan keluargamu, tapi ayahku bukanlah tipe laki-laki yang dingin dan keras. Lemah, mungkin. Egois itu pasti. Bodoh tidak perlu diragukan, tapi hatinya tidak dingin dan keras.
Rose sangat memopesona saat berada di air.
Kami tampak seperti dua mahluk yang sama sekali berbeda saat berada dibawah permukaan air. Rose tetap rileks, bak melayang dalam keleluasaan. Aku tidak pernah merasa nyaman dengan peralatanku, setiap kali membersikan maskerku dari air, dengan was-wasterus mengecek persediaan udaraku untuk mengetahui dengan pasti berapa banyak lagi yang tersisa, selalu haus akan udara. Pokoknya aku tidak tampak bahagia didalam air. Ia sudah belajar menyelam sebelumtiba di Hong Kong. Sedangkan aku belajar menyelam dari Rose. Kami menikmati hari-hari yang menyenangkan. Pada hari jumat malam cuacanya masih terang dan bersih. Kami sudah menggunakan pakaian selam kami. Aku menyeleksi sebuah tangki, BCD, dan regulator. Dua selang regulator itu mempunyai peran untuk dimasukan pada mulut. Aku berdiri diburitan kapal sedangkan semua yang lain sudah didalam air. Hujan turun dengan deras sekarang. Aku jatuh ke air, tenggelam sesaat, lalu tiba-tiba berada dipermukaan. Maskerku mulai buram. Aku memakai maskerku dan melihat yang lain sudah mulai bergerak kebawah. Aku merasakan keberadaan lambung kapal dan para penyelam didekatku. Rose berada disebelahku, membuat gerakan-gerakan dengan tangannya. Dengan satu tangan aku menyatukan telunjuk dan jempolku membuat sebuah lingkaran. Jarak penglihatanku buruk. Aku mengecek sekelilingku, sambil berharap akan melihat tanda-tanda yang menyakinkan dari bentuk-bentuk manusia meliuk-liuk menembus kegelapan. Ini hari senin pagi dan murid-muridku sedang membuatku sulit untuk mengendalikan diri. Zen terkantuk-kantuk di bagian belakang kelas. Imran sibuk membaca. Astrud dan Vannesa asyik ngobrol. Witold berusaha menghentikan isakannya sementara Yumi mencoba menghiburnya. Hanya Gen yang melihat kearahku, menunggu sesuatu yang akan terjadi. Aku berdiri didepan mereka, menunggu kehadiranku secara fisik disadari. Zeng mulai ngorok. Imran mulai mengetik sesuatu di HPnya. Astrud dan Vanessa tiba-tiba tertawa. Witold mulai menangis. Yumi merangkul pundaknya. Gen berpaling. Dari cara mereka semua mengubah posisi duduknya dan menghindari kontak mata, aku tahu tak seorangpun diantara mereka yang mengerjakan PR. Biasanya aku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Biasanya mereka akan meminta saran dan sedikit bercanda denganku, tapi hari ini mereka terlalu takut dan marah untuk meminta bantuanku. Setelah bel berbunyi mereka semua keluar secepat mereka bisa. Tidak ada apapun yang bisa mengenai Jackie. Setiap pagi ia datang untuk bekerja dengan dandanan seperti aku berkencan dengan Rod Steward. Bahkan di saat sudah menggantinyadengan perangkat kerjanya, Jackie masih tetap nampak tampil seformal pramugari atau polwan. Kadang-kadang aku melihatnya di dalam ruang staf, di lorong, atau di sebuah kelas yang kosong. Murid-muridku tidak seperti Jackie. Murid-muridku tampil apa adanya. Hiroko kembali ke jepang untuk berhari natal. Berpisah dengannya terasa aneh. Kami berangkulan di pintu gerbang keberangkatan dan hiroko melambai kearahku terus sampai saat ia menghilang di balik sekat, sebelum tempat pengecekan paspor.
Aku menekan bel pintu rumah nenekku tapi ia tidak muncul. Aneh sekali. Aku tahu ia di dalam. Aku menghambur masuk flat putih kecil itu. Nenekku tidak kelihatan namun aku langsung melihat seorang laki-laki asing yang menggenggam sebuah foto berbingkai perak. Dengan segera aku melintasi ruangan itu dan menyergapnya. Ia menghajarku dari samping, membuatkuterhuyung kearah lemari kecil yang penuh souvenir. Kemudian nenekku muncul dari dapur kecilnya membawa nampan berisi teh dan biskuit. Si anak muda dan aku tiba-tiba seperti dilerai.
Saat melihat Hiroko menungguku di luar bangunan Churchill’s, aku teringat akan apa yang aku baca di rublik konsultasi mengenai seseorang yang mendominasi dalam suatu hubungan. Si pengasuh rublik menyimpulkan bahwa biasanya sosok yang mendominasi biasanya merupakan pihak yang tidak begitu membutuhkan. Tidak ada alasan bagiku untuk mendominasi Hiroko. Namun Hiroko lebih membutuhkan aku daripada sebaliknya. Ia gadis yang luar biasa. Ia tidak pernah mempermalukanku dengan cara lain selain manis. Apa yang salah denganku? Mengapa aku tidak bisa merasakan bahagia dengan wanita muda ini.
Berita buruk yang beredar di Churchill,s adalah telah terjadi sekandal seks yang melibatkan salah seorang guru. Berita baiknya adalah semua itu sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Hamish ditahan karena prilakunya didalam sebuah toilet umum di Highbury Fields. Singkatnya, Hamish ditahan untuk prilaku tidak sopan karena pada suatu malam ia menunjukkan minatnya pada seorang yang tadinya ia sangka juga menaruh minat padanya, tetapi ternyata ia masuk perangkap kepolisian. “aku khawatir, aku akan kehilangan segalanya”, ujarnya.
Aku kasihan pada Hamish, karena itu aku tidak menyuarakan apa yang ada di dalam kepalaku. Dan ia keliru mengenai London. Tapi kau bebas menentukan hidupmu sendiri, batinku. Kau hanya perlu sedikit memperhatikan sekelilingmu. Kadang-kadang aku berfikir cinta merupakan kasus identitas yang keliru. Seperti yang terjadi antara Hiroko dan aku atau seperti yang terjadi antaraHamish dan partnernya. Yang diinginkan Hamish adalah pergi ke tempat-tempat umum dan main seks dengan mereka yang namanya mungkin tidak akan pernah ia tahu.
Selama aku bisa ingat, nenekku selalu memendam rasa tidak suka yang amat sangat pada dokter. Tapi kini setelah ia benar-benar berbaring di subuah tempat tidur rumah sakit, nenekku mulai menunjukan tanda-tanda pikirannya akan berubah.
Saat ibuku, Joyce Chang dan aku duduk mengelilingi tempat tidurnya, nenekku menceritakan pada kami tentang mereka yang ditemuinya disini. Ia nampak bahagia setelah sekian lama, meskipun ada mesin kecil jelek dilantai dekat tempat tidurnya dengan selang tipis panjang yang disusupkan dibawah gaun rumah sakit putih yang membuatnya tampak seperti malaikat tua. Sebelah paruh-paruhnya ternyata sudah putih sama sekali. Pada foto ronsenya, begitu banyak cairan yang seharusnya tidak ada disana.
Aku tahu nenekku wanita tua yang tabah dan tegar. Tiba-tiba ia mengoceh dan kami semua menoleh untuk melihat ayahku yang sedang berdiri salah tingkah di bagian kaki tempat tidur itu. Ibu dan ayahku tampil lebih seperti kakak-adik daripada sepasang suami-istri. Dan untuk pertama kalinya aku merasa kasihan kepada ayahku. Ia memiliki segala yang tadinya ia inginkan, tapi ia tidak tampak bahagia.Tugas PR pertama Jackie Day adalah menulis apresiasi kritis dari dua puisi: “When You Are Old and Grey and Full of Sleep” karya WB Yeats dan “To Lucasta, On Going to the Wars” karya colonel Lovelace. Aku membaca esainya dalam tulisan tangan yang rapi. Kau merangkum itu dengan baik sekali.
Seorang wanita muda berdiri dibawah tiang lampu sisi lain jalan. Ia menggenggam seikat bunga. Mungkin untuk nenekku.
Wajah-wajah di Churchill’s selalu berganti. Murid-murid baru secara teratur datang di sekolah itu, penuh harapan dan kekhawatiran. Ada Hiroko dan Gen, dua-duanya melirik ke arahku melalui tirai rambut mereka yang berkilat berkilauan. Kemudian ada Zeng dan Witold, dua-duanya berjuang keras melawan kantuk setelah berjam-jam melayani orang di General Lee’s Tasty Tennesse Kitchen dan Pampas Steak Bar. Astrud, yang entah memang sengaja ingin menambah berat atau berada diawal masa kehamilan. Olga, yang duduk persis paling depan, menggigiti penanya, berusaha keras mengejar ketinggalannya dari yang lain. Dan akhirnya Vanessa, yang memeriksa kuku-kukunya yang terpelihara rapi. Vanessa duduk dengan memunggungi pintu kelas, sehingga tidak melihat sosok laki-laki yang wajahnya tiba-tiba tampak di jendela yang kecil, memeriksa isi ruangannya. Laki-laki tampan berusia empat puluhan, meski nampak sedikit tidak karuan, seakan sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi padanya. Ada memar di pipinya dan tangkai kacamatanya hilang sebelah. Matanya bersinar dibalik kacamatanya yang rusak. Sewaktu membuka pintu, terlihat bahwa lelaki itu membawa sebuah tas yang di jejal penuh. Perlahan-lahan ia melangkah ke dalam ruangan kelas. “Aku sudah melakukannya,” ujarnya pada Vanessa. “aku sudah meninggalkan dia”. Setelah itu mereka berpelukan dan bibir mereka menyatu. Aku melayangkan pandanganku ke arah murid-muridku.
30 Juni 1997. malam pengalihan pemerintahan. Malam pemerintahan Inggris mengembalikan Hong Kong kepada pemerintahan Cina. Para petinggi berada di pelabuhan. Rose dengan setelan Mao. Aku dalam pakaian Mandarin yang mengingatkan akan anggota staf Istana Kekaisaran lama. Kami minum-minum, kemudian pindah dari bar yang satu ke yang lain. Dan kami mempertanyakan bagaimana seharusnya kami bersikap. Apakah kami merayakan sesuatu atau berkabung? Apakah ini pesta atau acara kematian?. Tidak terasa adanya suasana gembira disana. Keributan terjadi dimana-mana.
George mengajariku Tai Chi dalam tiga tahap. Pertama-tama, aku mempelajari gerakannya. Kemudian aku mencoba menerapkan pernafasan pada gerakan. Dan akhirnya serta yang paling utama, aku belajar untuk rileks. Saat aku mencoba menjernikan pikiran serta menyenangkan hati, untuk melupakan kehidupan yang menantiku diluar batas hamparan yang sempit ini, aku bahkan tidak yakin aku akan mengerti. Ada gosip panas lagi The Churchill’s. Lisa Smith mengawasiku bagai burung elang tua penasaran yang tidak bisa melihat jauh lagi.
Olga dan aku menyusuri kanal-kanal daerah utara London untuk melihat rumah-rumah perahu, saat aku merangkul pinggangnya dan merasakan dengan takjub kelenturan tubuh mudanya. Itu. Kami menjelajahi bagian-bagian yang lebih rawan dari daerah Hampstread Heath minggu sore itu.
Kaca etalase Shaghai Dragon penuh dengan bunga dan lampu. Permainan nuansa buah peach, jeruk, dan bunga narcissus di hangatkan cahaya yang berasal dari beberapa puluh lampion merah yang diterangi api lilin. Kami berdiri di jalan menikmati dengan takjub keajaiban kecil di jalan yang sibuk di daerah utara London. Ibuku, nenekku, Olga dan aku, di bawah hangatnya lampion-lampion yang berwarna merah. Pada Shanghai Dragon ditempel dua poster merah dengan huruf-huruf Cina dari emas, lambang kebahagiaan, umur panjang dan kemakmuran. William tiba-tiba muncul di balik permukaan kaca pintu, yang segera disusul kakaknya, Diana. Setelah itu muncul orangtua mereka, Harold gemuk dan Doris yang pemalu, diikuti oleh Joyce dan George. Mereka semua tersenyum senang. “Gong xi fat choi!” seru keluarga Chang menyambut kami, saat kami melangkah masuk. “Selamat tahun baru juga untuk kalian!” ibuku tersenyum, meskipun Gong xi fat choi lebih berarti “Semoga anda sejahtera” daripada sesuatu yang berhubungan dengan peralihan ke tahun yang baru.
Olga menelpon aku persis menjelang tenga malam dan menyatakan ia harus ketemu aku. Aku baru saja mau menggosok gigiku dan pergi tidur, karena itu aku mengusulkan padanya besok pagi-pagi sekali, di kedai kopi seberang The Churchill’s. Ia mengatakan harus sekarang juga. Aku berpakaian dan kemudian naik taksi ke Eamon de Velera. Kami duduk di sebuah mejah pojok dikelilingi oleh para peminum yang sudah menghabiskan belasan gelas. “Aku sudah menjalani tes” ujarnya. Aku tidak bilang apa-apa. Aku menunggu, masih sulit bagiku untuk mempercayai ini terjadi kali ini, dengan gadis ini, wanita ini. Dan bukan istriku. Rose dan aku berusaha meraih momentum ini, namun kami tidak pernah berhasil. Apakah memang mereka yang menginginkan bayi tidak akan memperolehnya, sedangkan mereka yang tidak menginginkannya justru mendapatkannya. Begitulah kenyataannya. “aku hamil”, ujar Olga, wanita yang bukan Rose ini, sambil tertawa kecil bahwa sama seperti aku , ia juga tidak bisa mempercayai kenyataan ini. “aku akan mempunyai bayi”. Kami membiarkan fakta ini mengendap sesaat.
Pada  tahun baru Cina Olga dan aku kembali ke flatku, menemukan bahwa wadah gula  suvenir dari Hong Kong, tempat aku menyimpan persediaan kondomku sudah kosong. Dan kami memutuskan untuk mengambil resiko itu. Olga mulai terisak dan aku mulai mengulurkan tangan untuk meraihnya. “aku akan mendampingimu”, ujarku. Ia menarik tangannya. “”kau gila? Aku tidak mau punya bayi denganmu. Umurku dua puluh sedangkan kau hampir empat puluh. Kau cuma guru di salah satu sekolah bahasa kecil. Aku masih punya masa depan yang membentang di depan aku. Pacarku akan membunuhku.” Jadi setelah itu kami tidak mendiskusikan soal si bayi lagi. Kami hanya membicarakan tentang aborsi. Kemudian aku mengantarkannya kembali ke flatnya. Saat aku mau mencium pipinya, ia berpaling. Ia menghilang  ke dalam bangunan flatnya. Kami bahkan tidak saling mengucapkan selamat malam. Pada saat keberadaan keajaiban kecil ini, keberadaan si bayi yang sedang tumbuh di dalam dirinya. Kami belum pernah seasing ini terhadap satu sama lain. Pertama-tama Rose, kemudian bayi ini. Aku mencoba  merenungkan semua ini. Aku merasa, aku sedang melepas diriku dari tanggung jawab pada suatu tindak pembunuhan.
Aku bisa mengerti mengapa ia tidak mau punya bayi denganku. Aku tidak begitu bodoh sehingga tidak bisa mengerti itu. Ia belum berbentuk bayi, batinku berulang kali. Ia akan menjadi bayi, andaikata kami menyediakan ruangan baginya dalam kehidupan kami yang serba kacau ini. Namun inilah yang sedang kami lakukan. Kami akan membuangnya. Kami telah membawa nyawa yang tidak diinginkan dalam kehidupan ini. Kami sudah membuat perjanjian dengan klinik. Aku tahu itu satu-satunya cara. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama.hubungan kami tidak mungkin akan berhasil. Si bayi seharusnya berterima kasih pada kami. Saat aku menjemput olga di klinik, aku mendapati aku menyukainya lebih daripada sebelumnya. Ia tampak begitu muda, mpucat, dan lelah, seakan ia baru saja melewati sesuatu yang akan terus membekas dalam dirinya, seumur hidupnya, sesuatu yang akan mengubah cara menilai kehidupan. Dan aku tidak ingin berpisah darinya. “Jangan kembali ke flatmu. Kembalilah ke tempatku. Kau bisa memiliki kamar sendiri, aku akan tidur di sofa. Sampai kau merasa lebih baik”. Aku bisa melihat ia tidak terlalu menyukai ide itu. Aku melongok ke dalam setelah beberapa lama dan melihat ia tidur, wajahnya nyaris sepucat bantal yang digunakannya.
Keesokan paginya aku meninggalkan Olga dalam keadaan tidur untuk pergi ke toko buku lokal untuk membeli hadiah bagi Plum. Persis di dekat pintu masuk toko, aku menemukan display yang mantap dari Smell the Fear, He-bitch. Aku mengambil satu dan mengamati sampulnya yang bergambar seorang laki-laki botak bertubuh besar yang setengah telanjang tampak mengertakkan giginya. Ia nampak seperti binaragawan sedang mempromosikan pakaian dalam. Aku membalik halaman-halamannya yang penuh gambar. Kebanyakan memperlihatkan The Slab sedang menghajar orang bertubuh besar lain dalam setelan Lycra ketat atau setidaknya berpura-pura. Namun ada satu bagian menjelang akhir buku itu tempat The Slab berpose dengan anak-anak kecil dari segala bangsa dan warna kulit. Dalam huruf-huruf besar yang mengisi foto itu The Slab menyatakan filosofinya. Pentingnya kerja sosial, kebutuhan memerangi rasisme, moralitas untuk membina hubungan saat masa pertikaian berdarah sudah berlalu. Ia menanamkan itu hal yang manusiawi. The Slab bilang bersikaplah manusiawi, kalau tidak aku akan menghajar bokongmu ke pohon derita.
Saat sampai di rumah kembali aku mendapati Olga sudah pergi. Kadang-kadang sudah terlambat bagiku untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat  manusiawi. Dan aku mulai merenung tentang tahun baru Cina, Festival musim semi, dan betapa aku menyukai apa yang aku anggap sebagai keharmonisan dalam keluarga Chang. Keluargaku sendiri bagaikan puing-puing yang berserakan.
Tapi aku pernah memiliki keluarga, dan kami pernah memiliki rencana. Kami akan memiliki anak-anak dan segalanya. Itulah yang kami inginkan, Rose dan aku.

Penulis : Light ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Ringkasan novel Untuk Kukasihi: One For My Baby karya Tony Parsons ini dipublish oleh Light pada hari Rabu, 25 April 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Ringkasan novel Untuk Kukasihi: One For My Baby karya Tony Parsons
 

0 komentar:

Posting Komentar