Laki-Laki Sejati
Seorang perempuan muda bertanya
kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti
apa?
Ibunya
terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah
menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru
kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing.
Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang
matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada
malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya.
Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak
masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam
cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu
menanyakan itu, anakku?
Sebab aku
ingin tahu.
Dan sesudah
tahu?
Aku tak
tahu.
Wajah gadis
itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan
hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak
pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban
yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan
rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk
mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang
harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang
pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Jangan malu,
anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak
penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu,
meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami
sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku.
Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan
membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu
tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya
zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga
sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran
walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki
sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Kenapa tidak?
Sebab di
dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari
berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan
perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu
salah?
Ibu tidak
akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara
perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.
Aku selalu
memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang
seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan
menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali.
Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu
ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat
bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima,
meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya
tersenyum.
Jadi kamu
masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa
tidak?
Berarti kamu
sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap.
Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati
itu.
Ibu
memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan
di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.
Laki-laki
yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah
seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu
jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.
Bagus, Ibu
hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu
sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena
laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati
anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki
sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki
sejati adalah…
Laki-laki
yang perkasa?!
Salah! Kan barusan Ibu bilang,
jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa!
Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak
tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami,
tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti
juga kamu.
O ya?
Bukan karena
ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak
menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya
indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi
laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan
rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena
dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin
sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh
pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi,
selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya
karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati
hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau
jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang
pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan
seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?
Kalau begitu apa dong?
Seorang
laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar
yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir,
membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia
berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang
sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan
muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang
laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang
konsekuen?
Lebih dari
itu!
Seorang yang
bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan
muda itu terpesona.
Apa yang
lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan
muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu
mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati
lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar
erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh,
gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam
penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu.
Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?
Ibu tidak
menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan.
Perempuan
muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku
bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku
akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu
untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari
anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku
kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan,
menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan
aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya
untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi
menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan
berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan
muda itu turun naik.
Apa salahnya
sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad
kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan
cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda
menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu
menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu
menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak
mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena
laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan
muda itu terkejut.
Sudah tidak
ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan,
habis? Kenapa?
Laki-laki
sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah
amblas?
Ya. Sekarang
yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya
pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe
semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa
berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki
sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak
mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan
kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin
lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang
pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau
kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih
baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu
termenung.
Mukanya
nampak sangat murung.
Jadi tak ada
harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi.
Kalau begitu
aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku
putus asa.
Kenapa mesti
putus asa?
Karena apa
gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya
kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu terlalu
muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu
sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup
udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar
beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di
dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam
perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku,
cari seseorang di sana,
lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak
ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang
lari?
Mengurung
diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke
mana?
Ke jalan!
Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu
termangu.
Untuk apa?
Dalam rumah kan
lebih nyaman?
Kalau begitu
kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku
hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!
Tidak cukup!
Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka,
matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan
muda itu menggeleng.
Tidak ada
gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya
keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan
muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa
meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B
ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari
sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu
justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang
indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut
menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi
melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki
di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata
terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya,
apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya.
Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan
ia teman hidupmu!
Perempuan
muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong.
Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting
anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh
mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan
muda itu tercengang.
Dan lebih
dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku,
katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang
perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap
perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia,
bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya,
seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang
sejati!.
Karya: Putu Wijaya
0 komentar:
Posting Komentar