Judul : Siti Nurbaya (kasih tak sampai)
Pengarang : Marah Rusli
Tebal : 291
SITI NURBAYA (kasih tak
sampai)Pengarang : Marah Rusli
Tebal : 291
Seorang penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah dengan
isterinya, Siti Mariam yang berasal dari orang kebanyakan mempunyai seorang
anak tunggal laki-laki yang bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmud Syah
dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman
yang mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Siti Nurbaya. Mereka itu
sangat akrab sehingga seperti kakak dengan adik saja. Siti Nurbaya tidak memiliki
ibu karena ibunya sudah meninggal sejak dia masih kanak-kanak, maka bisa
dikatakan itulah titik awal penderitaan hidupnya. Sejak saat itu hingga dewasa
dan mengerti cinta ia hanya hidup bersama Baginda Sulaiman, ayah yang sangat
disayanginya.
Ayahnya adalah seorang pedagang yang terkemuka di kota Padang. Sebagian
modal usahanya merupakan uang pinjaman dari seorang rentenir bernama Datuk
Maringgih
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti
Nurbaya ke gunung Padang bersama-sama dua orang temannya, yakni Zainul Arifin,
anak seorang jaksa kepala di Padang yang bernama Zainul Arifin akan melanjutkan
sekolahnya ke Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke
Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula. Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke
Sekolah Dokter tersebut. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka
bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul Bahri menyatakan
cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka itu
mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri
melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Sekolahnya menjadi satu dengan Zainul Arifin.
Air mata Siti Nurbaya berlinang membasahi pipi disaat melepas kekasihya di
pelabuhan teluk Bayur dan berharap cepat kembali.saling berkirim surat cinta
adalah pengobatan rindu mereka berdua.
Di Padang ada seorang orang kaya raya yang bernama Datuk Maringgih. Ia
selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain.
Kekayaannya itu didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia mempunyai
banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar empat, dan
Pendekar Lima.
Pada mulanya usaha perdagangan Baginda Sulaiman mendapat kemajuan
pesat. Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk
Maringgih merasa tidak senang, karena hal itu tidak dikehendaki oleh rentenir
seperti Datuk Maringgih maka semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan
dilenyapkan.. Maka untuk melampiaskan keserakahannya Datuk Maringgih menyuruh
kaki tangannya membakar semua kios milik Baginda Sulaiman. Maka dengan seluruh
orang suruhanya, yaitu pendekar lima,
pendekar empat serta pendekar tiga, serta yang lainnya Datuk Maringgih
memerintahkan untuk membakar toko Baginda Sulaiman. Dengan demikian hancurlah
usaha Baginda Sulaiman Dengan perantara kaki tangannya itu, dibakarlah tiga
buah toko Baginda Sulaeman dan perahu-perahunya yang penuh berisi muatan
ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang
kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan
uang pinjaman itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya.
Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah
tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih
diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun.
Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang
telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian,
tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak
dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih
ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.
Baginda Sulaeman jatuh miskin dan tak sanggup membayar hutang-hutangnya
pada Datuk Maringgih. Dan inilah kesempatan yang dinanti-nantikan oleh Datuk
Maringgih. Datuk Maringgih mendesak Baginda Sulaiman yang sudah tidak memiliki
apa-apa dan tidak berdaya agar melunasi
semua hutangnya. Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar hutangnya, maka
Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman,
kecuali jika Baginda Sulaeman mau menyerahkan putrinya Siti Nurbaya untuk
dijadikan sebagai istrinya.
Menghadapi kenyataan seperti itu Baginda Sulaiman yang memang sudah tak
sanggup lagi membayar hutang-hutangnya tidak menemukan pilihan lain selain yang
ditawarkan oleh Datuk Maringgih. Yaitu menyarahkan puterinya Siti Nurbaya
kepada Datuk Maringgih untuk dijadikan istri.
Siti Nurbaya menangis menghadapi kenyataan bahwa dirinya yang cantik
dan muda belia harus menikah dengan Datuk Maringgih yang tua bangka dan
berkulit kasar seperti kulit katak. Dia lebih sedih lagi ketika ia teringat tentang
Samsul Bahri, kekasihnya yang sedang sekolah di stovia, Jakarta. Sungguh berat
memang, namun demi keselamatan dan kebahagiaan ayahandanya ia mau mengorbankan
kehormatan dirinya dengan Datuk Maringgih
Mula-mula Siti Nurbaya tidak sudi dan menolaknya, karena ia sudah
mempunyai kekasih yakni Syamsul Bahri, tetapi ketika melihat ayahnya digiring
hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk
Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya
kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan melalui
sebuah surat oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Samsul Bahri yang berada di Jakata mengetahui peristiwa yang terjadi di
desanya, terlebih karena Siti Nurbaya mengirimkan surat yang menceritakan
tentang nasib yang dialami oleh keluarganya. Dia sangat terpukul oleh kenyataan
itu. Cintanya yang menggebu-gebu padanya kandas sudah. Dan begitupun dengan
Siti Nurbaya sendiri, hatinya pun begitu hancur pula, kasihnya yang begitu
dalam pada Samsul Bahri kandas sudah akibat petaka yang menimpa keluarganya
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, ketika Samsul Bahri
sedang liburan kembali ke Padang. Dan pulanglah Syamsul Bahri ke Padang.
Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah
Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sekarang
sedang sakit. Sesampainya ke tempat yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman yang
sedang terbaring karena sakit. Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu,
datanglah Siti Nurbaya karena ayahnya mengharapkan kedatangannya. Maka
berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya.
Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya,
pertemuan itu terjadi pada malam hari. Kedua asyik masyuk itu tidak mengetahui
bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki
tangannya. Karena tak tahan mereka itu menahan rindunya maka merekapun
berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan terjadilah
percekcokan, karena mendengar kata-kata yang pedas dari Syamsul Bahri, maka
Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri.
Tetapi karena Syamsul Bahri menghindarkan dirinya sambil menyeret Siti Nurbaya,
maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah
Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya, dan karena
kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk
Maringgih itulah maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar Lima dari
persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya
sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang
sedang sakit itu, karena disangkanya Siti Nurbaya mendapat kecelakaan maka
bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena
kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda
Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, menghindarlah
Syamsul Bahri ke samping. Dan pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan
Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu
datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat
mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke tempat yang gelap.
Para tetanggapun mulai berdatangan, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah
yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk
Maringgih tentang soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah
yang kebetulan menjadi penghulu kota Padang, malu atas perbuatan anaknya tanpa
dipikirkan secara masak-masak lebih dulu lagi. Samsul Bahri langsung diusir olehn
ayahnya sendiri dan harus kembali ke Jakarta. Ia berjanji untuk tidak kembali
lagi kepada keluargannya di Padang. Pada malam hari itu juga secara diam-diam
pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Datuk
Maringgih juga tidak tinggal diam, oleh karena itu Siti Nurbaya diusirnya,
karena dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya dan adat istiadat. Siti
Nurbaya kembali ke kampunganya dan tinggal bersama karabatnya. Sementara itu
Samsul Bahri yang ada di Jakarta hatinya hancur dan penuh dendam kepada Datuk
Maringgih yang telah merebut kekasihnya
Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari anaknya. Setelah gagal
mencarinya di sana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam ke rumah
saudaranya di Padang Panjang. Di sana karena rasa kepedihannya itu, ia menjadi
sakit-sakit saja.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada
Datuk Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui
suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk Maringgih ke
rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya
tinggal di rumah saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Siti
Nurbaya mendapat petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga
keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja
ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan nasihat Alimah
sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya, akan pergi ke Jakarta
bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah sejak pengusiaran
diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan
kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, karena percakapannya dengan
Alimah tersebut dapat didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang
sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak
Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui
bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah
Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi
sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia
akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga
disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih.
Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi
pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat
besar, pergilah Pendekar Lima mencari tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati
Siti Nurbaya, iapun segera menyeret Siti Nurbaya hendak membuangnya ke laut.
Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya, tetapi iapun mendapat pukulan Pendekar
Lima dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya.
Siti Nurbayapun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu
terdengar oleh orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu.
Karena takut ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan
dirinya. Siti Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul
Bahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya
itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal
dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten
kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu.
Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti
Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan
payah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah
berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu
bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang
telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Siti
Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik
suaminya dan diharapkan agar orang itu di tahan dan dikirim kembali ke Padang.
Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal itu tidak lain akal busuk
Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada Polisi itu agar hal tersebut jangan
diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang
menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu
dirawat dulu di Jakarta sampai sembuh sebelun kembali ke Padang. Permintaan Syamsul
Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya
perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah
diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri
Nurbaya dengan senang hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan
masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada
yang berwajib agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak
dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang
dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata bahwa
Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan
atas dirinya itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal
di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli
kue yang dijajakan oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang
sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah
penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah
makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya pusing. Tak lama kemudian Siti
Nurbaya meninggal secara mendadak itu, terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada
waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Kedua
jenazah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga diberitahukan
melalui sebuah telegram kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang
sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal
itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula
kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya.
Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainul
Arifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan
oleh Syamsul Bahri sehingga Zainul Arifinpun tidak mengetehuinya. Sesampainya
ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainul Arifin dengan alasan
bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainul Arifin
memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia mengikuti
gerak-gerik sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan
pistolnya dan kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainul Arifin
segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zainul Arifin itu, peluru
yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang
seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah
bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu sampai di
Padang dan di dengar oleh Sultan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada
yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan
setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun
menjadi seorang serdadu (tentara). Ia
dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan
yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, maka dalam kurung waktu selama sepuluh
tahun saja pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan
Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta
ditugasi memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai masalah
balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran,
pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan
Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu.
Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas,
sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat
membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, terkenalah kepala Letnan Mas yang
menyebabkan ia rebah. Ia rebah di atas timbunan mayat, dan yang antara lain
terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun
diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di
dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar
dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena
dikatakannya ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang,
maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan
sekarang berada di Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang
dirawat di rumah sakit karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakannya pula
kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata
Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah,
bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang
diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Mariam. Setelah berkata itu, maka Letnan
Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang
merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal
itu adalah anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian
dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang,
dimakamkanlah jenazah Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti
Maryam dan Siti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal
pula Sultan Mahmud Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat
makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang
terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman,
Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sultan Mahmud Syah.
0 komentar:
Posting Komentar